Dalam kabinet yang disusun calon kanselir Sebastian Kurz (31), politisi FPO akan menjabat di enam kementerian, antara lain sebagai menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan menteri luar negeri. Adapun partai Kurz, Partai Rakyat (OVP), akan menguasai delapan kementerian, termasuk kementerian ekonomi, kehakiman, dan pertanian.
Kurz dan Ketua FPO Heinz- Christian Strache (48) mengumumkan keputusan itu, Sabtu (16/12). FPO meminta semua pihak tak takut dengan masuknya partai ekstrem kanan. ”Tak ada yang ditakuti,” kata kantor berita Austria, mengutip calon mendagri dari FPO, Herbert Kickl.
Kickl memulai kariernya sebagai penulis pidato Joerg Haider, yang semasa hidupnya memancing kontroversi karena memuji kebijakan Pemimpin Nazi Adolf Hitler.
Dalam kesepakatan yang dicapai kedua partai dalam dokumen setebal 180 halaman, Kurz mengatakan, kesepakatan itu akan menjadi dasar perubahan bagi Austria.
FPO didirikan tahun 1956 oleh Anton Reinthaller, mantan anggota Nazi dan petinggi organisasi paramiliter di bawah Nazi, SS. Partai ini menentang Austria bergabung ke Uni Eropa dalam referendum 1994. Bahkan, Strache kerap menyebut Brussels sebagai ”monster birokratik”.
Namun, dalam dokumen kesepakatan itu disebutkan, Austria ”mendukung Uni Eropa yang kuat”. ”Hanya di dalam Uni Eropa yang kuat akan terdapat Austria yang kuat,” sebut dokumen itu.
Kepada wartawan, Strache yang akan menjadi wakil kanselir sekaligus menteri olahraga mengatakan, Austria berdiri bersama Uni Eropa. ”Kita berdiri bersama UE, kita berdiri bersama proyek perdamaian Eropa. Namun, kita akan melihat perkembangan dengan kritis,” katanya.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa Austria tak akan menyelenggarakan referendum ala Brexit. ”Tak akan ada pemungutan suara terhadap keanggotaan Austria di organisasi internasional, termasuk Uni Eropa,” kata dokumen OVP-FPO.
Tahun 2000 FPO juga masuk dalam pemerintahan koalisi Austria. Namun, saat itu UE secara tegas menerapkan sanksi kepada Vienna dan Austria kemudian dikucilkan. Kini, sikap tegas UE seperti itu akan sulit terjadi karena partai-partai ekstrem kanan semakin kuat di Eropa.
Keras kepada imigran
Koalisi kedua partai ini akan semakin menguatkan kebijakan yang keras terhadap imigran, khususnya imigran Muslim. Dalam pemilu lalu, kedua partai mengampanyekan penguatan kontrol imigrasi, pendeportasian dengan cepat imigran yang ditolak suakanya, dan pemberantasan kelompok radikal.
Jumpa pers Kurz-Strache dilakukan di Kahlenberg, situs perang Vienna tahun 1683, yang berakhir dengan pengepungan oleh pasukan Ottoman Turki. Baik Kurz maupun Strache sama- sama menentang keanggotaan Turki di Uni Eropa.
Partai-partai ekstrem kanan telah meraih suara yang signifikan dalam berbagai pemilu di Eropa. Di Jerman, partai Alternatif untuk Jerman (AfD) untuk pertama kali menembus Bundestag (parlemen nasional). Di Perancis, kandidat partai ekstrem kanan berhasil menembus final pemilihan presiden. Namun, di Austria keberhasilan itu berlanjut lebih jauh dalam bentuk pemerintahan bersama.
Terbentuknya pemerintahan koalisi Austria disambut gembira partai-partai ekstrem kanan di sejumlah negara di Eropa yang kemarin berkumpul di Praha, Ceko. ”Ini adalah kabar yang luar biasa bagi Eropa. Kesuksesan ini menunjukkan bahwa Eropa masa depan adalah Eropa yang berasal dari rakyat,” kata Marine Le Pen dari Front Nasional Perancis.
Ia menegaskan, UE telah ”membunuh” kedaulatan negara. ”Kami bukanlah xenofobia, tetapi kami menentang UE yang telah membunuh Eropa,” katanya.
Hal senada dilontarkan Geert Wilders, ketua partai ekstrem kanan Belanda yang anti-Islam. ”Partai kami yakin bahwa Belanda akan lebih baik jika berada di luar Uni Eropa. Itu akan lebih baik bagi ekonomi ataupun keamanan,” kata Wilders yang mendorong agar Rusia menjadi mitra sejati Eropa.
Wilders menyebutkan, apa yang terjadi Austria merupakan contoh bagi dunia. ”Adalah bijaksana jika kita bekerja sama mempertahankan perbatasan dan memberantas imigrasi, serta bersikap keras terhadap kejahatan, semua hal yang saat ini terjadi di Austria,” kata Wilders.