Saya menyampaikan pesan untuk tentara pendudukan Zionis. Ini tanah kami. Kami tak akan menyerah. Amerika harus menarik pernyataannya,” demikian pesan pria berusia 29 tahun ini, dua hari sebelum sniper Israel membunuhnya dalam unjuk rasa di Jalur Gaza, Jumat.
Ibrahim Abu Thuraya merupakan satu dari empat korban tewas dalam aksi demo menentang keputusan Amerika Serikat yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Jenazahnya, Sabtu (16/12), sudah dimakamkan. Namun, kenangan warga Palestina terhadap pria gagah berani ini akan sulit dihapus.
Jumat lalu, seperti biasa, Abu Thuraya dengan begitu semangat melancarkan aksi protes bersama sekitar 3.500 warga di perbatasan Jalur Gaza. Dalam gambar, terlihat pria tanpa kaki ini naik ke tiang listrik dan memasang bendera Palestina. Sebuah peluru tiba-tiba melumpuhkannya. ”Dia membawa bendera saat ditembak tentara Israel,” demikian laporan wartawan Al Jazeera. Ribuan orang mengantar kepergian Abu Thuraya, sebut laporan itu.
Militer Israel menyatakan, pihaknya melakukan penembakan secara selektif terhadap biang penghasut. Abu Thuraya bukan satu-satunya korban dalam penembakan sangat jitu tersebut. Masih ada tiga korban lain yang tewas plus 150 orang yang dikabarkan luka-luka. Demo hari Jumat itu disebut yang terbanyak memakan korban sejak merebaknya aksi-aksi serupa di seluruh belahan dunia akibat keputusan Presiden Donald Trump, 6 Desember lalu. Sejak itu, total jumlah orang Palestina yang meninggal sudah 10 orang.
Contoh kegigihan
Bagi rakyat Palestina, Abu Thuraya seperti memberi contoh tentang sebuah kegigihan, keuletan, dan perjuangan yang tak kenal surut. Dia merupakan figur cukup menonjol dalam aksi-aksi protes terhadap Israel.
”Dia biasanya meninggalkan kursi rodanya di rumah dan menghadiri aksi protes di Kota Gaza hanya dengan mengangkat bendera Palestina,” kata Alan Fisher, wartawan Al Jazeera saat melaporkan proses pemakaman Abu Thuraya.
Kisah hilangnya kaki Abu Thuraya terungkap dalam sebuah wawancara kantor berita Shehab News, beberapa tahun lalu. Suatu hari pada bulan April 2008, saat sedang duduk bersama beberapa temannya di kamp pengungsi Al-Bureij di pusat Gaza, dia menjadi sasaran serangan udara Israel. Selain kedua kakinya harus diamputasi, dia juga kehilangan salah satu ginjalnya. Serangan itu menewaskan tujuh orang.
Peristiwa yang terjadi saat usianya baru 20 tahun itu tidak menghentikan semangat hidupnya, apalagi semangat untuk ikut berjuang mengembalikan hak-hak warga Palestina. Dengan keterbatasannya, Abu Thuraya tak berhenti mencari nafkah untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sakit, 6 adik perempuannya, dan 3 adik laki- lakinya. Sebelum kakinya hilang, dia adalah seorang nelayan. Pekerjaan itu kemudian ditinggalkannya dan dia bekerja sebagai pencuci mobil.
Abu Thuraya merupakan tulang punggung keluarga. Penghasilannya 14-20 dollar AS per hari, kadang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari sehingga dia harus bersiasat mencari tambahan lain. Kadang Abu Thuraya menjual sayur-mayur di pasar.
Mimpinya tak muluk-muluk. ”Saya berharap suatu hari bisa memiliki rumah sendiri,” ucapnya dalam wawancara tersebut. Tampaknya harapan itu belum sempat terwujud. Juga harapannya untuk bisa berjalan. ”Saya ingin orang di Eropa dan negara-negara Arab akan membantu saya setelah mendengar kisah saya mendapat perawatan di luar negeri dan mendapat kaki palsu,” katanya. (REUTERS/RET)