Yanghee Lee, semula dijadwalkan berkunjung ke Myanmar, Januari mendatang. Ia mendapat tugas menggelar penyelidikan independen soal hak asasi manusia di Myanmar, termasuk dugaan kekerasan terhadap warga Rohingnya di Negara Bagian Rakhine.
Melalui pernyataan, Rabu (20/12), Lee mengatakan, militer Myanmar memberlakukan larangan bagi dirinya hingga masa tugasnya berakhir. Dia menduga, ada sesuatu sangat mengerikan sedang terjadi di Myanmar.
Sebagaimana diberitakan, PBB menuduh tentara Myanmar melakukan pembasmian etnis dan mencurigai adanya unsur pembunuhan massal terhadap warga Rohingya. Pemerintah Myanmar menyangkal tuduhan itu. Beberapa hari lalu, organisasi Dokter Lintas Batas (MSF) melaporkan, sedikitnya 6.700 orang tewas pada bulan pertama sejak operasi militer digelar, 25 Agustus lalu.
Yanghee Lee menyatakan kecewa atas larangan itu. Menurut informasi yang dia peroleh, keputusan Pemerintah Myanmar menolak kehadirannya terkait dengan laporan yang dia sampaikan kepada Dewan HAM di Majelis Umum PBB mengenai kunjungannya pada Juli lalu.
Sebagai Pelapor Khusus PBB, Lee seharusnya mengunjungi Myanmar dua kali dalam setahun untuk melaporkan keadaan di sana. ”Pernyataan yang tidak kooperatif dengan mandat saya hanya bisa dilihat sebagai indikasi kuat adanya sesuatu yang sangat mengerikan di Rakhine dan juga di wilayah lain di negara itu,” kata Lee, yang juga akademisi di Korea Selatan itu.
Dalam rencana kunjungan ke Myanmar, Januari mendatang, ia bermaksud mendapatkan cara mengembalikan para pengungsi Rohingya, yang kini mengungsi di Bangladesh. Dia juga ingin menyelidiki peningkatan bentrokan di Negara Bagian Kachin dan Shan Sate, Myanmar utara.
Pemerintah Myanmar mengatakan, larangan kepada Lee diberlakukan karena dia bias. ”Dia bukan orang yang tidak memihak dan obyektif saat melakukan tugasnya. Tidak ada kepercayaan terhadap dia,” kata juru bicara pemerintah, Zaw Htay.
Juru bicara Kemlu Myanmar, Kyaw Moe Tun, mengatakan, Myanmar ingin terus bekerja sama dengan PBB, tetapi meminta Lee diganti pelapor khusus yang tahu Myanmar dengan baik, jujur, dan tak memihak.
Kasus dua wartawan
Masih terkait isu di Myanmar, sejumlah negara, PBB, dan kelompok-kelompok jurnalis meminta Pemerintah Myanmar membebaskan dua wartawan kantor berita Reuters. Wa Lone (31) dan Kyaw Soe Oo (27), dua wartawan itu, dipanggil ke kantor polisi di dekat Yangoon, 12 Desember lalu, dan sejak hari itu keduanya ditahan.
Pejabat Kementerian Penerangan Myanmar menyatakan, keduanya ditahan karena mendapatkan informasi secara ilegal dengan tujuan untuk dikirim ke media luar negeri.
Sebuah laporan yang dilansir laman majalah Irrawaddy, Selasa lalu, mengutip sumber yang dekat dengan intelijen militer Myanmar, menyebutkan, kedua wartawan itu mengirim foto-foto yang diperoleh saat meliput kekerasan di Rakhine ke PBB.
Hal itu dibantah Juru Bicara PBB Stephane Dujarric. ”Kami bisa mengonfirmasi, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo tidak bekerja untuk PBB dan tidak mengontak PBB terkait situasi di Negara Bagian Rakhine,” katanya.