Menemukan Diri di Perjalanan Mandiri
Banyak orang mengalami krisis hidup, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia. Stres, depresi, atau pusing kepala adalah beberapa keluhan yang sering terdengar di sekitar kita. Dari situasi itu, istilah ”kurang piknik” sering muncul dalam percakapan langsung sehari-hari ataupun di media sosial.
Dikatakan kurang piknik bisa jadi karena yang bersangkutan memang benar-benar jarang bepergian ke luar rumah, ke luar kota, atau ke luar negeri untuk sekadar menyegarkan fisik dan pikiran. Ia merasakan derita stres, depresi, dan pusing itu akibat tekanan pekerjaan atau tekanan hidup sehari-hari. Meski demikian, terkadang istilah itu sering juga dipakai untuk menyebut seseorang yang dianggap kurang luas dalam wawasan.
Karena itu, untuk memperluas wawasan dan tidak didera rasa bosan atau stres dan depresi, banyak pelancong menyediakan waktu khusus dan anggaran yang cukup untuk menyegarkan diri. Banyak alasan dan banyak pula manfaat orang memilih melancong ke negeri orang.
Untuk memperluas wawasan dan tidak didera rasa bosan atau stres dan depresi, banyak pelancong menyediakan waktu khusus dan anggaran yang cukup untuk menyegarkan diri.
Budimulia Julian, pejalan mandiri (backpacker) yang berdomisili di Cikarang, Jawa Barat, mengatakan, ia lebih suka berinteraksi dengan warga lokal ketika ia sedang melakukan perjalanan mandiri (backpacking) ke luar Indonesia. ”Dari interaksi itu, saya merasakan kecintaan mereka pada tanah air mereka. Melihat itu, saya juga jadi semakin bangga sebagai orang Asia, terlebih sebagai orang Indonesia. Negara-negara di Asia dan keunikan mereka memperkuat identitas saya,” kata Julian.
Perjalanan mandiri, menurut Julian, membuat wawasan kian luas. Ia juga belajar memahami budaya lain. ”Selain karena ingin membebaskan diri sejenak dari rutinitas hidup dan memuaskan keingintahuan pada suatu tempat, sepulangnya dari jalan-jalan, saya bisa mendapat manfaat lain, seperti memperoleh pengetahuan atau sejarah tempat yang saya kunjungi, budaya lokal, gaya hidup orang-orangnya,” tutur Julian.
Lebih peka
Ia mengungkapkan, pengalaman melancong itu secara langsung memengaruhi kualitas dan perspektif berpikir serta caranya bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. ”Pengalaman semacam inilah yang biasanya tidak langsung kita ’beli’ sewaktu traveling,” ujar Julian.
Sementara itu, bagi Desi Tumiarti yang berhobi melancong (traveling), perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri membuatnya lebih peka dengan keadaan di sekitarnya. Ia bisa lebih memahami orang-orang yang ada di dekatnya dan juga lebih bisa mengontrol emosi.
”Dulu, saya mudah merasa emosi, sering emosi. Dengan melakukan traveling, saya jadi bisa mengontrol emosi. Selain itu, pikiran jadi makin terbuka dalam menilai sesuatu dan (menilai) tidak hanya dari satu sisi saja,” kata Desi.
Hal senada diutarakan Mutiara Adinda. Pejalan mandiri asal Lampung yang hidup di Jakarta ini mengatakan, dari semua perjalanannya keliling dunia, ia justru banyak melihat cara-cara orang bertahan hidup. Ini penting bagi dirinya yang hidup merantau di Jakarta.
”Selain itu, saya juga jadi lebih mengerti orang lain. Backpacking yang saya jalani banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat lokal, terlibat kegiatan harian mereka. Dari situ, saya juga banyak belajar sabar, memahami orang lain,” kata Mutiara.
”Pernah suatu ketika saya mendapat ’tonjokan’, teguran seorang ibu yang mengatakan kepada saya: ’Kamu boleh ambil barang yang memang bebas untuk diambil, tapi ambillah sebanyak yang kamu mau kasih ke orang lain’. Aduh, saya malu banget karena tangan sudah penuh dengan barang, tapi saya masih tengok-tengok mencari barang lain. Dari situ, saya belajar berbagi dengan orang lain,” lanjut Mutiara.
Banyak hal positif yang didapatkan dalam perjalanan mandiri atau melancong. Selain lebih banyak waktu untuk menyendiri dan ”berdialog” dengan diri sendiri, dalam perjalanan pun seorang pelancong atau pejalan mandiri bisa ”menemukan” dirinya sendiri: sisi positif, sisi negatif, harapan-harapan, dan mimpi-mimpi yang ingin diraih.
Dalam kaitan ini, melancong tak hanya menghilangkan stres, depresi, dan pusing kepala, tetapi juga membawa pelakunya ke arah yang lebih baik setelah melihat dan mencecap sejenak kehidupan masyarakat di negeri-negeri asing. (LOK)