Perang Dingin
Di bulan penutup tahun 2017, Desember ini, Presiden AS Donald Trump memantik kemarahan hampir seisi jagat. Pertama, lewat keputusannya mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember. Ia menyalakan api kemarahan di dunia Arab, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, serta membuat kesal para mitra AS di Eropa.
Kedua, dua pekan berikutnya atau pada 18 Desember, Trump ganti membuat berang Rusia dan China melalui Strategi Keamanan Nasional AS. Dalam strategi keamanan nasional itu, ia memberi cap kedua negara itu sebagai kekuatan revisionis yang menjadi ancaman bagi keamanan dan kemakmuran AS.
”Amerika berada dalam permainan, dan Amerika yang akan menang,” kata Trump dalam pidatonya. Beberapa media menyoroti beberapa poin pidato Trump yang tidak nyambung dengan dokumen strategi tersebut. The New York Times menyebut pidato itu lebih mirip pidato kampanyenya tahun lalu.
Amerika berada dalam permainan, dan Amerika yang akan menang.
Dalam pidato, ia terlihat ingin bermAmerika berada dalam permainan, dan Amerika yang akan menanganis muka dengan Rusia saat menceritakan telepon Presiden Vladimir Putin kepada dirinya, sehari sebelumnya, yang berisi ucapan terima kasih atas informasi Badan Intelijen Pusat AS (CIA) soal rencana serangan teroris di St Petersburg. Padahal, dokumen Strategi Keamanan Nasional AS berisi tudingan tajam terhadap Rusia.
”China dan Rusia menantang kekuatan, pengaruh, dan kepentingan-kepentingan Amerika dengan berusaha mengikis keamanan dan kemakmuran Amerika,” begitu antara lain isinya.
China dan Rusia menantang kekuatan, pengaruh, dan kepentingan-kepentingan Amerika dengan berusaha mengikis keamanan dan kemakmuran Amerika.
Wajar jika Moskwa dan Beijing merasa tersengat isi dokumen tersebut. Beijing menuding Trump seperti menghidupkan lagi atmosfer Perang Dingin dan konsep menang kalah (zero-sum game). Moskwa tak kalah pedasnya menanggapi dengan menyebut strategi AS itu berwatak imperialis.
”Menurut istilah diplomatik, itu secara jelas mengandung karakter ofensif, dan jika kita menggunakan istilah bahasa militer, itu jelas agresif,” ujar Putin. ”Kami harus mempertimbangkan hal itu dalam kerja praktis kami.”
Dalam dokumen setebal 68 itu dipaparkan strategi dalam rentang area yang luas terkait keamanan AS. Strategi itu memberikan sejumlah sinyal kembalinya cara pandang ala Perang Dingin. Pemerintahan Trump berencana menaikkan anggaran belanja pertahanan lebih dari 10 persen dalam fiskal 2018 menjadi sekitar 700 miliar dollar AS.
”Untuk melindungi rakyat Amerika dan cara hidup Amerika, Trump mendasarkan strateginya terutama pada ketakutan pada ’pihak lain’,” tulis Marwan Bishara, analis politik Al Jazeera.
Apakah situasi tahun-tahun ke depan akan menyerupai Perang Dingin, istilah yang pertama kali diperkenalkan wartawan AS, HB Swope, dan dipopulerkan Walter Lippmann untuk menyebut situasi ”tidak ada peperangan ataupun perdamaian”? Waktu yang akan menjawab hal itu.
Seperti bagi para presiden AS sebelumnya, menyusun strategi kebijakan nasional merupakan mandat Kongres. Strategi itu kadang-kadang bisa memberikan petunjuk yang kuat untuk memprediksi langkah AS ke depan. Seperti saat George W Bush melontarkan istilah ”langkah militer pre-emptive” dalam strategi keamanannya tahun 2002, strategi itu menjadi landasan serangan AS ke Irak beberapa bulan kemudian.
Satu hal yang menarik untuk dicermati dalam dokumen strategi Trump adalah kebijakan AS di Asia Tenggara. Dokumen itu menyebut Filipina dan Thailand sebagai mitra penting AS. Indonesia—bersama Vietnam, Malaysia, dan Singapura—disebut dalam dokumen itu sebagai partner ekonomi dan keamanan AS yang terus tumbuh. (MH SAMSUL HADI)