Pidato Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte pada penutupan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-31 Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Manila, 14 November 2017, menjadi penanda berakhirnya kepemimpinan Filipina di ASEAN sepanjang 2017, tahun pesta emas ASEAN. Estafet kepemimpinan tahunan ASEAN pada 2018 pun beralih ke tangan Singapura.
Tepuk tangan para pemimpin negara anggota ASEAN menandai penyerahan estafet kepemimpinan tahunan ASEAN tersebut. Para pemimpin itu menyampaikan terima kasih atas kepemimpinan Filipina tahun ini sekaligus berharap peran kepemimpinan yang prima dari Singapura tahun depan. Tantangan dan dinamika kawasan Asia Tenggara dalam lanskap global menanti di depan mata.
Usia 50 tahun ASEAN adalah momen yang patut disyukuri seluruh masyarakat ASEAN, termasuk Indonesia yang ikut menjadi promotor lahirnya organisasi itu. Lahir dari negara-negara dengan sejarah yang diliputi konflik dan suramnya ekonomi, ASEAN mampu bertahan damai dan ekonominya tumbuh dengan prinsip-prinsip yang dipegang teguh anggotanya. Prinsip-prinsip itu mencakup penghindaran konflik, mengedepankan dialog,
serta kesamaan, dan organisasi berdasarkan aturan yang dihormati bersama.
Namun, ASEAN dan keberadaannya tidak berdiri sendiri. Lanskap di sekitarnya dan secara global berubah, menghadirkan dinamika dalam proses mewujudkan cita-cita masyarakat ASEAN. Ada tiga tantangan pokok yang sedang dan bakal dihadapi ASEAN di tengah perubahan lanskap itu menuju 50 tahun kedua organisasi itu.
Pertama, dalam jarak dan waktu yang relatif dekat adalah tantangan menghadapi ancaman terorisme. Aksi terorisme tersebar secara global. Perkembangan media sosial turut menambah ancaman terorisme, termasuk di Asia Tenggara. Apa yang menimpa Filipina, berupa upaya perebutan dan penguasaan Marawi oleh kelompok Maute, merupakan peringatan. Maute, yang diduga kuat terafiliasi dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), menjadi peringatan atas bahaya aksi terorisme di ASEAN.
Kedua adalah sentralitas dan persatuan ASEAN. Agresivitas China di bidang ekonomi dan keamanan secara global, terutama di kawasan Laut China Selatan, serta respons negara-negara lain—Jepang, India, Korea Selatan, dan AS—menjadi tantangan bagi sentralitas dan persatuan negara-negara di Asia Tenggara serta ASEAN sebagai organisasi. Perkembangan situasi di Semenanjung Korea yang tidak menentu juga tidak luput berimbas pada ASEAN.
Ketiga adalah keberlanjutan pertumbuhan perekonomian kawasan ataupun di setiap negara anggotanya. Itu terutama mengacu pada aneka perkembangan perekonomian global, masa depan perdagangan bebas di tengah munculnya gejala proteksionisme yang didengungkan AS sekaligus respons negara-negara penentang proteksionisme, khususnya China.
Butuh gerak cepat
Pemerintah Indonesia menilai tantangan serta dinamika global membutuhkan gerak ASEAN yang cepat, responsif, dan terbuka. Dorongan menuju ASEAN yang tanggap terhadap aneka tantangan pada 50 tahun kedua organisasi itu mendasari diplomasi Indonesia, termasuk dalam KTT Ke-31 ASEAN lalu.
”Harus diakui, ASEAN telah menciptakan ekosistem yang stabil, damai, sejahtera. Namun, tantangan ke depan semakin rumit. ASEAN harus lebih cepat, progresif, dan terbuka merespons aneka tantangan. Kita ingin ASEAN menjadi komunitas yang responsif,” ujar Menlu RI Retno LP Marsudi waktu itu.
Kondisi yang damai dan stabil selama ini dinilai turut mendorong perekonomian Asia Tenggara untuk terus tumbuh. Dalam beberapa tahun terakhir, saat ekonomi global mengalami pelambatan, ekonomi Asia Tenggara tumbuh lebih dari 5 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi global yang berada di kisaran 2-3 persen. Tantangan di depan mata dari segi perekonomian adalah mencapai pertumbuhan inklusif sehingga dapat mengurangi tingkat kesenjangan, baik antar-anggota ASEAN maupun di dalam negeri anggota organisasi kawasan itu.
Di bidang politik dan keamanan, stabilitas dan keamanan menjadi kunci. Kasus Marawi di Filipina selatan yang pernah dikuasai kelompok Maute memberi pelajaran penting agar keamanan dijaga dan dipertahankan. Ketidakstabilan bisa mengganggu kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, bukan hanya di Filipina, melainkan juga di kawasan. Salah satu pekerjaan rumah besar paling aktual bagi ASEAN adalah krisis pengungsi warga etnis Rohingya di Myanmar. Sejumlah pihak menyatakan kecewa dengan ASEAN yang pada KTT ke-31 lalu tidak secara tegas menyatakan sikapnya atas krisis itu.
Indonesia sendiri telah berupaya merespons cepat untuk mencari penyelesaian krisis pengungsi warga etnis Rohingya di Myanmar ke Bangladesh. Indonesia juga aktif dalam forum trilateral bidang keamanan, khususnya terkait krisis keamanan di Marawi, bersama Filipina dan Malaysia. Ketiga negara khusus bertemu dalam kerangka forum trilateral itu di sela-sela KTT ASEAN.
Kita mendukung peran aktif Indonesia dalam lingkup global, termasuk di ASEAN. Hanya dengan cara-cara responsif, antisipatif, sekaligus proaktif, Indonesia dan ASEAN membuktikan dirinya relevan bagi keseharian masyarakat. Jika masyarakat awam tidak dapat merasakan manfaat ASEAN, di masa mendatang organisasi itu akan kesulitan melaksanakan kegiatan, termasuk penyiapan anggarannya. (BENNY D KOESTANTO)