Menatap Gejolak Timur Tengah Tahun 2018
Jika pada tahun 2017 tantangan terbesar rezim-rezim itu adalah bisa membasmi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), pada tahun 2018 mereka akan menghadapi era pasca-NIIS.
Tantangan era pasca-NIIS sebenarnya justru lebih berat dan rumit dibandingkan dengan era menghadapi NIIS itu sendiri. Apabila pada era NIIS rezim dengan mudah bisa menyatukan semua elemen bangsa dengan sentimen untuk menghadapi musuh bersama NIIS, pada era pasca-NIIS bisa terjadi pertarungan di antara elemen bangsa itu sendiri yang semula bersatu pada era NIIS.
Bisa dilihat pada era perang melawan NIIS tahun 2017, rezim di Irak, Suriah, dan Libya bisa dengan mudah bersatu dengan elemen masyarakat atau kekuatan politik lainnya di negara-negara itu dengan jargon menghadapi musuh bersama, yakni NIIS. Hal itulah yang membuat perang melawan NIIS itu cukup sukses di Irak, Suriah, dan Libya.
Akan tetapi, pada era pasca-NIIS, antara satu negara dan negara lain berbeda agenda politik utamanya.
Agenda politik utama di Irak pada era pasca-NIIS, misalnya, adalah memberantas praktik korupsi di negara itu. Hal itu diakui oleh Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi bahwa perang melawan korupsi jauh lebih berat dibandingkan dengan perang melawan NIIS.
Agenda politik utama di Suriah dan Libya pada era pasca-NIIS adalah mencari solusi politik di dua negara itu.
Agenda politik utama di Yaman juga mencari solusi politik kompromi, khususnya setelah tewasnya mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh di tangan milisi Houthi pada Desember lalu.
Agenda politik utama di Lebanon adalah membawa negeri itu dalam posisi netral dari arus konflik di Timur Tengah, khususnya krisis Suriah. Agenda politik tersebut adalah tuntutan PM Lebanon Saad al-Hariri ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya dari kota Riyadh pada awal November 2017.
Agenda politik utama di Mesir terus berupaya menyukseskan reformasi ekonomi dan menciptakan keamanan bagi seluruh penduduk negara itu.
Mesir, meskipun tidak seberat Suriah dan Libya, juga mengalami krisis keamanan sejak penggulingan Presiden Muhammad Mursi pada 2013. Serangan teroris paling berdarah di negara itu adalah serangan di Masjid Al-Raudhah di Semenanjung Sinai Utara pada akhir November lalu yang membawa korban 309 orang tewas.
Adapun isu Palestina jauh lebih berat pada tahun 2018 menyusul keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember lalu.
Ini tantangan politik dan diplomasi terberat Palestina sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Palestina dan bangsa Arab akan menghadapi pertarungan politik dan diplomasi sangat rumit pada 2018 dalam upaya meminimalisasi dampak keputusan Trump tersebut.
Selain itu, Palestina juga memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat, yaitu upaya terus menyukseskan kesepakatan rekonsiliasi Fatah-Hamas yang dicapai pada Oktober lalu dengan mediator Mesir.
Terkait isu Arab Saudi, negara itu telah mulai melakukan langkah besar dalam melaksanakan visi Arab Saudi 2030 dengan gebrakan reformasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Salah satu langkah fenomenal yang mengguncang kawasan dan dunia internasional adalah aksi melawan praktik korupsi di negara itu dengan menangkap 11 pangeran, empat menteri, dan puluhan mantan menteri pada awal November lalu.
Aksi melawan praktik korupsi di Arab Saudi akan terus berlanjut pada 2018 yang menjadi sumber gejolak di negara itu karena akan menyeret banyak pangeran dan mantan pejabat tinggi yang notabene masih keluarga besar Ibn Saud yang berkuasa di negara tersebut.
Karena itu pula, aksi melawan praktik korupsi akan menjadi sumber gejolak di Irak pada tahun 2018 jika PM Abadi komitmen dengan janjinya akan memberantas korupsi di negaranya setelah berhasil mengalahkan NIIS.
Seperti halnya di Arab Saudi, pelaku praktik korupsi di Irak adalah kalangan elite politik. Maka, PM Abadi harus bisa meniru Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman yang berani menangkap saudara-saudaranya sendiri dari jajaran pangeran karena tuduhan korupsi.
Tantangan PM Abadi pun pada 2018 adalah menangkap para elite politik yang notabene masih kawan-kawannya sendiri karena tuduhan korupsi.
Maka, Timur Tengah pada tahun 2018 akan lebih diwarnai kesibukan setiap negara di kawasan tersebut menyukseskan pelaksanaan agenda politik utama itu.
Konsekuensi
Apalagi isu-isu yang selama ini menjadi ajang pertarungan pengaruh di antara kekuatan regional terakhir ini sudah lebih banyak diambil penanganannya oleh kekuatan internasional.
Masa depan Suriah, misalnya, sudah lebih banyak ditentukan Rusia melalui forum Astana dan Sochi. Isu Libya juga masih lebih banyak dikontrol PBB dengan utusan khusus barunya, diplomat asal Lebanon, Ghassan Salame.
Bahkan, isu Palestina juga akan lebih dibawa ke forum internasional setelah keputusan Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel itu. Karena itu, Palestina pada tahun 2018 akan lebih disibukkan mencari dukungan internasional agar forum perundingan damai mendatang berada di bawah payung internasional, bukan lagi monopoli AS.
Konsekuensi logis dari peta problema Timur Tengah tersebut, intervensi internasional di kawasan itu pada tahun 2018 akan semakin kuat. Intervensi Rusia di Suriah, misalnya, akan semakin tak terbendung. Kekuatan internasional, semacam Rusia, China, dan Perancis, juga akan semakin melakukan campur tangan dalam urusan isu Palestina, sesuai dengan harapan para pemimpin Palestina itu sendiri.
Dalam isu Libya dan Yaman pun peran PBB masih akan menonjol. Sebaliknya kekuatan regional, seperti Arab Saudi, Iran, Turki, dan Mesir, hanya mendompleng kekuatan internasional itu. Turki dan Iran hanya berada di belakang Rusia melalui forum Astana dan Sochi dalam isu Suriah. Arab Saudi berada di belakang AS dalam isu Suriah.
Kekuatan regional semacam Mesir, Arab Saudi, dan Jordania juga akan menjadi kekuatan kedua atau pendamping dalam isu Palestina nanti setelah Rusia, China, Perancis, dan AS.
Oleh sebab itu, kawasan Timur Tengah mendatang akan lebih diwarnai pertarungan internasional, khususnya antara Rusia dan Amerika Serikat. Adapun kekuatan regional, seperti Iran, Turki, Arab Saudi, dan Mesir, hanya bisa mendompleng kekuatan internasional tersebut.