Dalam mimpinya, Setara (24) berjalan beriringan dengan suami, Mohammad, di jalan kota Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Mereka mengunjungi teman-teman lama, berbagi makanan dengan keluarga, mencelupkan jari-jari kaki mereka ke tempat yang hangat, dan berselancar di Teluk Benggala.
Namun, fakta yang dihadapi Setara—berasal dari komunitas Buddha—tidak seindah mimpi itu karena semata-mata Mohammad adalah warga Rohingya. Etnis Rakhine dari mana Setara berasal membenci orang Rohingya dan melihat mereka sebagai penyerbu asing dari Bangladesh. Karena itu, perkawinan dua orang yang berasal dari dua komunitas berbeda itu sangat langka, sekaligus berisiko.
Di Sittwe, Setara tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa dia menikah dengan seorang Rohingya. ”Karena jika mereka tahu, mereka akan membunuhku, jadi aku selalu berhati-hati,” kata Setara kepada kantor berita AP.
Apa yang dialami Setara merupakan dampak dari posisi warga Rohingya—yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai komunitas paling tertindas di dunia. Sebagai komunitas yang tidak pernah diakui sebagai warga negara oleh Myanmar, warga Rohingya nyaris kehilangan semua jaminan atas hak-hak dasar mereka.
Situasi itu menunjukkan, bagaimanapun perwujudan hak-hak asasi manusia memerlukan peran negara. Pemenuhannya mengandaikan adanya otoritas yang memberi jaminan bahwa setiap orang, atau setiap warga, mendapatkan hak yang setara, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tarikan politik global justru menjadi ancaman pada isu pemenuhan hak-hak dasar manusia. Konflik yang berkepanjangan di sejumlah wilayah di dunia telah menyebabkan jutaan orang menemui ajal dan terusir dari tanah kelahiran mereka.
Perbedaan sikap politik dan etnis telah menyebabkan sejumlah komunitas—seperti Rohingya dan komunitas Kurdi—mengalami persekusi. Para pengungsi yang tidak memiliki harapan ditolak oleh otoritas sebuah negara karena alasan kedaulatan dan melindungi kepentingan nasional.
Kemenangan kelompok kanan di Eropa yang enggan dengan kehadiran migran memperkuat sikap itu. Kondisi itu menempatkan dunia dalam situasi yang semakin memprihatinkan. Otoritas—dalam hal ini negara—yang seharusnya menjadi garda terdepan pemenuhan hak-hak dasar manusia bersikap sebaliknya. Negara justru menjadi bagian dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Situasi ini menjadi tantangan besar komunitas global saat memasuki tahun 2018. Apalagi populisme yang berkembang di sejumlah negara dan komunitas telah menggerogoti peran pemerintah sebagai agen pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Sejumlah pemerintah negara besar seperti Amerika Serikat yang sebelumnya menjadi motor gerakan hak asasi manusia justru merasa nyaman dengan sikap itu. Oleh karena itu, perlu kerja sama global yang secara konsisten mendorong kembali peran-peran pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Tentu saja, Setara dan Mohammad sangat berharap atas upaya itu.... (B Josie Susilo Hardianto)