Bayangkan perbukitan tinggi dengan hutan pohon yang sangat rimbun menjulang di tengah pantai dengan pasir putihnya. Bayangkan jalan setapak di alam liar yang ramai dengan suara kicau burung. Akankah kita membayangkan wilayah itu sebagai Hong Kong?
Apa yang kita tahu tentang Hong Kong adalah ”hutan beton” dengan gedung-gedung pencakar langit yang berimpitan, jumlah penduduk superpadat, serta kehidupan yang serba cepat dan sibuk.
Sebagai salah satu kota dengan harga hunian termahal di dunia, sebagian besar warga Hong Kong hanya mampu membeli atau menyewa apartemen berukuran mungil atau biasa disebut dengan ”rumah sangkar” karena bentuknya mirip kandang burung.
Namun, untungnya Pemerintah Hong Kong menyisihkan 40 persen wilayahnya, seluas 443 kilometer persegi, tetap sebagai alam liar. Kebijakan ini telah menjadikan Hong Kong sebagai salah satu destinasi bagi para penyuka hiking, lari lintas alam, ataupun berkemah.
Bagi pelari lintas alam setempat, Stone Tsang (39), berlari dan trekking ke puncak Tai Mo Shan bagaikan ”penyembuhan jiwa”. Ia selalu rindu kembali menelusuri jalan setapak yang dipenuhi belukar, akar pepohonan, dan sesekali menemui tebing-tebing batu.
”Ketika saya kembali mendaki gunung, rasanya seperti terapi. Perjalanan seperti ini menghilangkan stres,” kata Tsang yang sudah beberapa kali memenangi lomba lari jarak jauh, termasuk lari 298 kilometer yang diselesaikannya dalam 54 jam.
Kurang alami
Meski demikian, belakangan ini Tsang sangat kecewa dengan kondisi jalur trekking setelah otoritas setempat membeton jalur setapak dalam bentuk anak tangga. ”Maksudnya agar jalur ini lebih aman. Namun, membeton jalur ini sangat bertentangan dengan lingkungan yang alami. Tidak saja jalur ini malah menjadi licin, tetapi juga menyebabkan erosi tanah,” kata Tsang yang gencar berkampanye soal itu di laman Facebook-nya.
Tsang saat ini terus melobi pemerintah agar menghentikan pembetonan dan telah memperkenalkan sejumlah ahli internasional di bidang wisata alam liar yang bisa memberikan advis untuk ”memoles” jalan setapak secara lebih alami, yaitu dengan bahan-bahan yang ada di sana.
”Wilayah ini merupakan aset Hong Kong yang sangat berharga, bukan saja untuk kita, melainkan juga untuk generasi mendatang,” kata Tsang.
Pentingnya atmosfer alam liar juga dirasakan oleh Dai-yu Cheung (29), warga Hong Kong, yang mengatakan bahwa alam telah mengubah hidupnya. Ia memutuskan berhenti sebagai desainer grafis yang hampir setiap hari bekerja lembur dan memilih menjadi pekerja paruh waktu sebagai fotografer yang mendokumentasikan wilayah alam liar Hong Kong yang jarang dieksplorasi.
”Ketika melakukan hiking, rasanya seperti bebas, relaks, dan semua kesulitan terlupakan,” ujar Cheung yang kini memilih untuk bekerja selama tiga hari dan sisanya untuk naik gunung sendirian atau bersama rekan-rekannya.
Sejumlah situs pariwisata Hong Kong juga gencar menawarkan jalur trekking bagi para pemula ataupun yang sudah berpengalaman. Salah satunya adalah jalur Dragon Back Ridge. Jalur ini merupakan yang termudah (skala 1-2) dari 10 skala jalur trekking yang ada, menurut situs Sassy Hong Kong.
Begitu keluar dari stasiun kereta api bawah tanah, wisatawan bisa langsung berjalan kaki menuju bukit yang landai selama 1-2 jam dan menyaksikan Hong Kong dari ketinggian 285 meter di atas permukaan laut. (AFP/MYR)