SEOUL, KAMISBagi Korea Selatan, isu perempuan korban perbudakan seks Jepang belum berakhir. Kesepakatan antara Korsel dan Jepang pada 2015 akan kembali ditinjau oleh pemerintahan Presiden Korsel Moon Jae-in karena dinilai cacat. Pemerintahan konservatif Korsel sebelumnya, yang dipimpin Park Geun-hye, ternyata tak membicarakan persoalan ini terlebih dahulu dengan para korban sebelum menyetujui kesepakatan itu dengan Jepang.
Akibatnya, kesepakatan ini tak sesuai dengan tuntutan para korban. Namun, Jepang memperingatkan revisi apa pun atas Kesepakatan 2015 akan mencederai hubungan diplomatik kedua negara. Sebaliknya, Moon menegaskan tekadnya untuk menangani masalah tersebut hingga tuntas.
”Kesepakatan yang dibuat pemerintah sebelum ini keliru. Masalah belum selesai dan tak mudah diselesaikan,” ujar Moon ketika menjamu makan siang delapan perempuan korban perbudakan seks di Istana Presiden Gedung Biru, Seoul, Korsel, Kamis (4/1).
Kunjungan korban ke Gedung Biru ini merupakan yang kedua kalinya di masa kepemimpinan Moon. Sebelumnya, ada korban yang diundang untuk mengikuti makan malam saat Presiden AS Donald Trump berkunjung ke Korsel, November lalu.
Dalam Kesepakatan 2015, Jepang minta maaf kepada para korban dan memberi ”uang ganti rugi” 8,8 juta dollar AS.
Bagi korban, ganti rugi itu justru membuat mereka merasa terhina. Korban menuntut Jepang mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
”Kembalikan saja uang itu ke Jepang. Dulu kami berhasil lolos selamat dari hujan peluru. Kami juga pasti mampu melalui ini semua,” kata Kim Bok-dong, salah satu korban yang sedang sakit dan dijenguk Moon, Kamis pagi.
Pada masa PD II diperkirakan terdapat sekitar 200.000 perempuan Korsel yang dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang. Hingga Desember 2017, ada 32 korban yang masih hidup. Ketika Kesepakatan 2015 dibuat, ada 46 orang yang hidup. Bukan hanya perempuan di Korsel yang menjadi korban, melainkan juga negara lain di kawasan Asia.
Dalam bahasa Jepang, perempuan korban perbudakan seks itu disebut jugun ianfu. Kata ju bermakna ikut, sementara gun berarti bala tentara atau militer. Ian berarti kenyamanan atau hiburan, sementara fu bermakna perempuan. Jepang menggelar secara sistematis praktik jugun ianfu demi memastikan tentara terhindar dari penyakit seksual menular selama PD II.
Situasi kritis
Rencana Moon mengkaji kembali Kesepakatan 2015 membuat Jepang khawatir. Kementerian Luar Negeri Korsel menjelaskan sedang mempertimbangkan sejumlah solusi yang diharapkan bisa diperoleh pekan depan. Jika Korsel tetap pada tekad itu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kemungkinan tak akan datang ke Korsel untuk menghadiri pembukaan Olimpiade Musim Dingin, bulan depan.
Ketegangan hubungan Korsel dan Jepang saat ini memperumit situasi keamanan Semenanjung Korea, khususnya terkait isu krisis nuklir di Korea Utara. Kedua negara sama-sama Sekutu AS yang ikut latihan militer gabungan guna mengantisipasi serangan Korut. Namun, hubungan bilateral kedua negara bisa terganggu setiap kali isu sensitif seperti jugun ianfu muncul.
Ketegangan hubungan Korsel dan Jepang terjadi bersamaan dengan upaya Korsel berkomunikasi dengan Korut. Moon mengajak Korut berdialog dan ajakan ini dijawab Pemimpin Korut Kim Jong Un dengan membuka kembali jalur komunikasi langsung Korsel-Korut.
AS curiga hal itu hanya akal-akalan Korut untuk memanfaatkan Korsel sebagai ”tameng” supaya Korut terhindar dari sanksi yang semakin berat dari komunitas internasional.