Presiden Perancis Emmanuel Macron memberantas berita bohong atau hoaks di media sosial melalui perubahan undang-undang pers. Sebelumnya, mulai 1 Januari 2018, Pemerintah Jerman menerapkan undang-undang baru yang mendenda tinggi terkait konten ujaran kebencian.
PARIS, KAMIS - Dalam jumpa pers awal tahun, Macron mengungkapkan bahwa dirinya beserta tim pemenangan pemilu telah menjadi korban berita bohong dan peretasan data komputer pada kampanye pemilu tahun lalu.
”Ribuan dokumen internal dibocorkan di internet sebagai upaya mendestabilisasi demokrasi seperti yang telah terjadi di Amerika Serikat selama kampanye pemilu presiden,” kata Macron
Ia beberapa kali menuding Rusia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan itu. Ia juga menuduh media Rusia telah melakukan disinformasi, baik di media sosial maupun di laman situsnya.
Bahkan, dalam jumpa pers bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Mei lalu, Macron menyebut televisi RT dan Sputnik, media Rusia yang memiliki situs berbahasa Perancis, sebagai penyebar propaganda bohong. ”Jika kita ingin melindungi demokrasi liberal, kita harus punya undang-undang yang kuat,” kata Macron.
Televisi RT dan Sputnik, media Rusia yang memiliki situs berbahasa Perancis, sebagai penyebar propaganda bohong.
Undang-undang yang akan dirinci Macron dalam beberapa pekan mendatang itu, antara lain, mengharuskan media massa mengungkapkan siapa yang jadi sponsor sebuah konten. ”Akan ada dorongan transparansi yang lebih besar dengan tujuan memublikasikan identitas mereka yang memasang iklan dan membatasi jumlahnya,” kata Macron.
Terkait itu, jika muncul berita bohong, akan ada hakim yang memerintahkan penghapusan sebuah konten, menutup akun pemilik konten, atau mengeblok akses sebuah situs.
Berbeda dengan pendahulunya, Francois Hollande, Macron menginginkan hubungan yang tidak terlalu dekat dengan media. ”Kedekatan yang kita rasakan dalam sejumlah peristiwa, saya pikir tidak baik, baik bagi pemerintah maupun jurnalis. Kadang obrolan di belakang layar dianggap lebih penting daripada pernyataan resmi,” kata Macron yang menginginkan ”jarak yang sehat” dengan pers.
Denda di Jerman
Mulai 1 Januari 2018, Jerman menerapkan denda tinggi bagi setiap ujaran kebencian di media sosial yang tidak ditarik dengan cepat oleh perusahaan media sosial seperti Twitter atau Facebook. Denda tertinggi bisa mencapai 60 juta dollar AS atau sekitar Rp 805,1 miliar.
Kasus pertama yang terkena aturan itu adalah akun Twitter milik majalah satire Titanic yang memarodikan komentar anti-Muslim. Akun majalah itu langsung diblokir oleh Twitter. Sementara pengadilan Jerman kini memproses apakah cuitan itu bisa memancing kebencian. ”Kami sangat terkejut,” kata editor Titanic, Tim Wolff.
Konten Titanic itu memperolok anggota parlemen dari ekstrem kanan, Beatrix von Storch, yang mengecam cuitan kepolisian Koeln berisi ucapan selamat tahun baru dalam beberapa bahasa, termasuk Arab, di Twitter. Storch diperiksa polisi karena pernyataannya yang menyinggung umat Islam. Titanic kemudian memarodikan Storch.