Mengendalikan Jagat Media Sosial
Langkah Perancis dan Jerman untuk menangkal berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial lewat undang-undang menjadi inspirasi pengendalian kekacauan di jagat maya.
Sebagai pihak yang menjadi korban bulan-bulanan berita bohong dan peretasan data pribadi, Presiden Perancis Emmanuel Macron, awal tahun ini, mengambil langkah tegas dengan membentuk undang-undang yang bisa meminimalkan disinformasi dan penyebaran berita bohong.
Pada pemilu presiden tahun lalu, ribuan dokumen yang berisi data pribadi Macron, termasuk data pajak, diretas dan dipublikasikan ke publik.
Pada pemilu presiden tahun lalu, ribuan dokumen yang berisi data pribadi Macron, termasuk data pajak, diretas dan dipublikasikan ke publik.
Sepanjang periode kampanye pun, sejumlah situs dan media menyebarkan berita-berita bohong terkait dirinya.
Hanya saja, warga Perancis saat itu sudah belajar banyak dari guncangan yang terjadi dalam pemilu di Amerika Serikat. Peretasan dokumen milik kubu Demokrat yang dibocorkan ke publik serta serangan berita bohong di masa kampanye untuk mendiskreditkan Hillary Clinton telah menimbulkan kerugian politis yang besar.
Undang-undang
Hingga hari ini, serangan siber itu masih dalam penyelidikan. Bahkan, perimeter penyelidikan mulai memasuki lingkaran dalam orang-orang terdekat Presiden AS Donald Trump yang ”diuntungkan” dari serangan itu. Seperti juga kalangan intelijen AS, Presiden Macron menuduh Rusia berada di belakang serangan itu.
Pemerintah Jerman bahkan sudah lebih sigap. Pada 1 Januari 2018, UU anti ujaran kebencian resmi berlaku. UU ini akan memidanakan dan mendenda dengan bayaran sampai 50 juta euro bagi pihak yang memublikasikan konten ujaran kebencian.
Bukan saja pihak yang mengunggah konten yang harus bertanggung jawab, melainkan perusahaan media sosial seperti Twitter dan Facebook juga wajib bertanggung jawab.
Mereka wajib secepatnya memblokir akun penyebar konten yang berisi kebencian. Jika tidak, perusahaan bersangkutan akan didenda dengan jumlah besar. Terkait itu, Facebook kini telah menempatkan lebih dari 1.200 orang di Jerman untuk menangani pengecekan konten.
Undang-undang yang populer dengan julukan ”UU Facebook” itu pekan ini sudah digunakan untuk menggugat ujaran kebencian yang diunggah anggota parlemen dari partai ekstrem kanan Alternatif untuk Jerman (AfD). Meski demikian, dunia pers Jerman merasa kebebasan berpendapat bakal terancam menyusul pemblokiran akun Twitter sebuah majalah yang memarodikan ujaran kebencian yang dilakukan tokoh ekstremis.
Sekarang saatnya warga dunia, tidak hanya di Perancis dan Jerman, menemukan keseimbangan baru antara sengkarut yang terjadi di jagat media sosial dan konsekuensi hukumnya.
Yang pasti, langkah tegas untuk mencegah penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yang mengancam demokrasi merupakan keniscayaan. (myr)