Perang Pun Ada Aturannya
Meskipun ilmu pengetahuan berkembang pesat, manusia tetap sulit meninggalkan hasratnya untuk berkuasa. Bahkan, untuk itu, manusia sudi membunuh manusia lain, baik secara fisik maupun mental.
Paruh akhir Desember lalu, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) berupaya keras mengevakuasi pengungsi dari kawasan Ghouta timur—sekitar 16 kilometer timur Damaskus—yang saat itu dikuasai oposisi dan tengah dikepung oleh tentara Suriah. Evakuasi ini sudah ditunggu berbulan-bulan.
Jaish al-Islam, kelompok oposisi yang menguasai kawasan timur Ghouta, mengatakan, sejumlah orang yang ditawan oposisi akan dibebaskan. Pembebasan itu sebagai barter evakuasi.
Kawasan timur Ghouta adalah salah satu daerah dekat Damaskus dan masih dikuasai oposisi. Kawasan itu dikepung Pemerintah Suriah sejak 2013. Akibatnya, 400.000 orang di kawasan itu kekurangan makanan dan obat-obatan.
Kepala Satuan Tugas Badan Kemanusiaan PBB di Suriah Jan Egeland menyatakan, 16 orang tewas selama menunggu proses evakuasi. Negosiasi evakuasi medis di sana dimulai setelah beredar foto anak-anak penderita gizi buruk level akut (Kompas, 28/12/2017).
Dalam laman resmi mereka, ICRC mengkhawatirkan meningkatnya pertempuran di Ghouta timur akan memakan banyak korban. Sejumlah warga sipil terbunuh atau terluka sejak lonjakan permusuhan mulai berkembang pertengahan November.
Banyak fasilitas sipil dan rumah penduduk menjadi sasaran. Padahal, berdasarkan hukum humaniter internasional, tempat-tempat ini harus terhindar dari pertempuran.
”Situasi kemanusiaan di Ghouta timur telah mencapai titik kritis. Seperti yang sering terjadi di Suriah selama enam tahun terakhir, warga sipil, sekali lagi terjebak dalam situasi di mana kehidupan perlahan menjadi tidak mungkin dan barang dan bantuan sangat terbatas,” kata Direktur ICRC di Timur Tengah Robert Mardini.
Untuk itu, ia mendesak agar semua pihak yang bertikai mencapai solusi yang menempatkan penduduk sipil terlebih dahulu dan mengizinkan bantuan kemanusiaan menjangkau masyarakat. ”Tidak ada keuntungan militer atau politik yang bisa membenarkan penderitaan seperti itu,” kata Mardini.
Prinsip kemanusiaan
Apa yang terjadi di Ghouta atau sejumlah wilayah konflik lain seperti di Kunduz atau Yaman di mana warga sipil menjadi korban tentu amat disayangkan. Sejak lama, sejak era Hammurabi memimpin Babilonia (1728-1686 Sebelum Masehi) warga sipil harus dilindungi.
Bahkan, dalam tradisi perang suku di Papua pun anak-anak dan wanita tidak boleh disakiti apalagi dibunuh. Mereka memiliki aturan yang menetapkan tentang waktu dan tempat di mana perang dilakukan.
Di era modern, muncul sejumlah ketentuan yang mengatur tentang perang, antara lain Konferensi Den Haag di era 1800-an, Kode Lieber di AS yang berisi panduan untuk memandu perilaku tentara AS di lapangan ketika Perang Sipil terjadi, serta yang terutama—dan paling relevan—adalah Konvensi Geneva 1949.
Peneliti dari dosen dari Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Essex, Inggris, Daragh Murray mengatakan, ketentuan-ketentuan itu memberlakukan batasan-batasan tentang bagaimana perang dilakukan.
Menurut Murray, kehadiran ketentuan-ketentuan itu pada prinsipnya menetapkan keseimbangan antara prinsip-prinsip kemanusian dan kebutuhan militer.
Bagaimanapun juga, pada satu titik perang memang tidak dapat dihindari, tetapi pada saat yang sama manusia dan kemanusiaan tidak boleh diabaikan apalagi ditiadakan. Prinsip dasar dari ketentuan itu—sebagaimana diatur dalam Konvensi Geneva—adalah mereka yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam konflik atau pertempuran terhindar sejauh mungkin dari permusuhan.
Ketentuan-ketentuan itu menegaskan bahwa serangan hanya dapat diarahkan kepada mereka yang terlibat dalam pertempuran, termasuk peraturan yang berkaitan dengan siapa dan apa yang dapat diserang secara langsung. Selain itu, ada hal-hal lain seperti tindakan pencegahan, termasuk pengembangan dan penggunaan senjata, serta perlakuan terhadap warga sipil, dan penahanan.
Pendek kata, meski perang dalam situasi tertentu dapat dibenarkan, hal itu tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Persoalannya adalah banyak rezim atau kelompok bersenjata kerap mengabaikan ketentuanketentuan dasar itu. Selain itu, cukup sulit mengajukan mereka ke pengadilan karena sejumlah negara atau rezim tidak meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Oleh karena itu, penting untuk memastikan prinsip-prinsip yang diatur dalam ketentuan-ketentuan itu masuk dalam kurikulum pelatihan militer dan mengintegrasikannya dalam proses pengambilan keputusan. Setidaknya upaya itu dapat mengurangi adanya korban-korban ikutan, terutama di pihak sipil. Fokus utama adalah pada upaya pencegahan pelanggaran.
(B. Josie Susilo Hardianto)