Nuklir dan Kondisi Mental
Awal tahun ini, isu Semenanjung Korea kembali ramai dengan saling balas ancaman antara Kim Jong Un dan Trump. Keduanya saling klaim dan pamer kekuatan nuklir yang dapat dioperasikan sewaktu-waktu hanya dengan memencet ”tombol nuklir”.
Dalam pidato tahun barunya, Kim Jong Un sesumbar sudah memasang ”tombol nuklir” di meja kerjanya. Tinggal pencet saja, nuklir Korut sanggup menjangkau wilayah AS.
Tak lama kemudian, Trump, lagi-lagi melalui Twitter, membalas ancaman itu. ”Saya juga punya tombol nuklir. Namun, punya saya lebih besar dan lebih kuat. Dan tombol saya jelas berfungsi,” kata Trump.
Tidak ada yang tahu pasti siapa yang bicara jujur dan siapa yang bohong. Yang jelas, menurut harian The New York Times, Jumat lalu, sesungguhnya tidak ada yang namanya ”tombol nuklir”. William Safire, mantan kolumnis The New York Times dan penulis pidato presiden, menulis ucapan ”tombol nuklir” itu sesungguhnya ekspresi ancaman saja untuk menyerang lawan.
Presiden AS Richard M Nixon semasa Perang Vietnam pernah melontarkan ancaman ke Vietnam. Nixon ingin Vietnam memercayai bahwa ia adalah ”orang gila” yang segala tindakannya tidak bisa diduga. Nixon menggambarkan dirinya sebagai orang yang sulit dikendalikan jika sedang marah dan jarinya berada di atas tombol nuklir.
Setiap negara yang memiliki persenjataan nuklir pasti mempunyai mekanisme penyerangan yang berbeda. Namun, ada satu kesamaan: otorisasi serangan berada di tangan kepala pemerintahan. Namun, tetap saja, tidak ada ”tombol nuklir”.
Untuk AS, tulis The New York Times, apa yang disebut tombol nuklir sebenarnya koper atau nuclear football seberat 20,5 kilogram. Di dalam koper ini, tersimpan buku panduan serangan, termasuk daftar lokasi sasaran yang akan diserang lebih dari 1.000 senjata nuklir AS. Dalam koper, juga ada alat komunikasi radio.
Koper dibawa ke mana pun presiden pergi. Ada satu dari lima ajudan militer yang selalu membawanya. Untuk memerintahkan serangan, pertama-tama presiden harus memverifikasi identitasnya dengan kode khusus yang harus selalu dibawa. Kode itu disebut dengan nama ”biskuit”.
Untuk menyerang, presiden tidak membutuhkan persetujuan dari siapa pun, tak juga dari kongres atau militer. Alasannya, pengambilan keputusan serangan diasumsikan harus diambil cepat sehingga tak perlu melalui proses birokrasi yang panjang.
Masalahnya, melihat karakter Trump yang ”berisiko” membahayakan AS, sejumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat meminta ketentuan diubah. Dengan demikian, keputusan serangan tak bisa hanya diambil oleh presiden.
Seperti AS, keputusan menyerang oleh Korut juga datang dari pemimpin rezim. Namun, meluncurkan nuklir antarbenua tidak mungkin terjadi seketika. Paling tidak diperlukan waktu beberapa jam untuk mengisi bahan bakar roket agar bisa diluncurkan, dengan catatan proses ini tidak keburu ketahuan oleh AS.
Kesehatan mental
Khawatir dengan Trump yang reaktif di Twitter dan terkesan kekanak-kanakan, belasan anggota Kongres dari Demokrat mendengarkan masukan Bandy Lee, psikiater dari Yale University, yang khawatir dengan kondisi kesehatan mental Trump.
Editor buku The Dangerous Case of Donald Trump: 27 Psychiatrists and Mental Health Experts Assess a President itu kepada media hanya mengatakan kondisi mental Trump akan menjadi makin tak terkendali jika dalam situasi tertekan.
Untuk pertama kalinya sebagai presiden, Trump akan menjalani pemeriksaan medis, Jumat mendatang. Namun, biasanya pemeriksaan medis atas presiden tidak termasuk uji kesehatan mental.
Demokrat pernah mengusulkan pembentukan komisi yang mengkaji kemampuan presiden menjalankan fungsinya dengan melihat kondisi mental dan fisiknya. Jika terbukti tidak mampu, sesuai Amendemen ke-25, Trump dapat dimakzulkan. Namun, pemakzulan harus didukung dua pertiga mayoritas Senat. (LUKI AULIA)