Jurus Sakti ala Kim Jong Un
Orang gila. Irasional. Manusia roket. Macam-macam sebutan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un atau ”Raja Bintang Timur”, sebutan sayang dari ibunya. Dari sekian banyak sebutan, irasional dinilai kurang tepat karena tindakan Kim Jong Un justru rasional dan strategis.
Lembaga kajian Korsel, Institut Strategi Keamanan Nasional, menyebutkan, Jong Un telah mengeksekusi 340 orang, dengan 140 orang di antaranya adalah pejabat pemerintah, militer, dan anggota Partai Buruh Korea. Pesan yang hendak disampaikan adalah Jong Un akan melibas siapa pun yang mengancam kekuasaannya.
Bagi Wakil Asisten Direktur Pusat Misi Korea CIA Yong Suk Lee, seperti disebutkan harian The Washington Post, Jong Un merupakan orang yang rasional dengan motivasi mempertahankan rezim. Ia tipe pemimpin yang ingin terus berkuasa untuk jangka waktu lama.
Karena rasional, menurut mantan Wakil Juru Bicara Kementerian Unifikasi Korsel, Soojin Park, Jong Un bukan tipe orang yang nekat mau bunuh diri dengan memancing pihak lain untuk menyerangnya. Ia justru memprioritaskan kelanggengan rezim.
Pernyataan provokatif yang muncul dari Jong Un sekadar gertak sambal yang biasa dilakukan Korut untuk mengirim pesan ke AS bahwa negara itu tidak takut dan tidak akan tunduk pada tekanan komunitas internasional. Memiliki rudal dan nuklir, bagi Korut, bukan alat pertahanan semata, melainkan juga membuat posisi tawarnya lebih kuat. Jong Un sadar tidak akan ada negara yang berani mengganggu Korut jika memiliki kekuatan nuklir.
Peneliti di American Enterprise Institute, Nicholas Eberstadt, menilai, tidak ada pilihan bagi Korut selain menguasai nuklir. Dengan tumbangnya Uni Soviet dan berbagai persoalan yang menderanya, satu-satunya ”kartu” yang bisa dimainkan Korut adalah rudal dan nuklir. ”Jika terdesak, taktik mengancam sering dilakukan Korut. Hal itu juga dilakukan Kim Il Sung dan Kim Jong Il,” kata Eberstadt.
Mengingat pentingnya rudal dan nuklir, Jong Un tidak mungkin mau menghentikan pengembangannya. Riset Brookings Institute menyebutkan, Jong Un menjalankan empat uji coba nuklir dan hampir 90 uji rudal balistik sejak 2011. Selama enam tahun pula, Jong Un tak mau bertemu dengan pemimpin negara lain.
Sikap ini berbeda dengan Kim Il Sung dan Kim Jong Il yang masih mau bertemu dan berunding dengan AS, Korsel, dan Jepang, serta menjaga hubungan baik dengan China. Bahkan, kakek dan ayahnya beberapa kali memberi sedikit harapan akan melucuti nuklirnya.
Namun, Jong Un tampaknya enggan melakukan hal itu karena tidak ingin nasibnya berakhir seperti pemimpin negara-negara lain yang menghentikan program senjata pemusnah massal dan pada akhirnya malah tumbang. Ia belajar dari pengalaman Saddam Hussein di Irak dan Moammar Khadafy di Libya. Pada 2003, Khadafy menghentikan program nuklir dengan barter bantuan ekonomi. Namun, rezimnya malah berakhir dengan tragis.
Raja Bintang Timur
Jong Un adalah anak laki-laki Jong Il dari istri ketiga, Ko Yong Hui. Jong Un yang lahir 8 Januari 1983 awalnya tidak dipilih ayahnya sebagai pewaris. Dua kakak laki-lakinya, Kim Jong Nam (kakak tiri Jong Un yang tewas dibunuh di Malaysia) dan Kim Jong Chol (kakak kandung) digadang-gadang menjadi pewaris. Namun, karena Jong Nam pindah ke Jepang dan Jong Chol dianggap tak tegas, Jong Un berpeluang naik. Ia lalu menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan.
Meski menempuh studi di sekolah swasta di Bern, Swiss, pada 1998-2000, Jong Un cenderung menghindari pengaruh Barat. Dalam buku I Was Kim Jong Il’s Chef tahun 2003, yang ditulis mantan tukang masak keluarga Kim dari Jepang dengan nama samaran Kenji Fujimoto, disebutkan bahwa sejak kecil Jong Un selalu terburu nafsu dan kompetitif. ”Ia mirip ayahnya, baik penampilan fisik maupun karakternya. Dari kecil, ia memiliki tekad dan mampu menangani masalah,” ujar Kenji.
Jong Il lalu menyiapkan Jong Un, yang dipanggil ”Raja Bintang Timur” oleh ibunya, sebagai pewaris rezim. Setelah Jong Il terkena stroke pada 2008, persiapan suksesi dikebut.
Direktur Studi Asia di Georgetown University AS dan mantan pejabat senior di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Victor Cha, menyatakan, Jong Il melihat Jong Un mempunyai keterampilan yang tidak dimilikinya, yakni berinteraksi dengan orang lain. Jong Un juga memiliki kemampuan dan ketegasan memimpin yang tidak ada pada kakaknya.
Dua hal itu adalah bekal yang dibutuhkan untuk mempertahankan rezim. Bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, Jong Un adalah politisi dewasa dan tidak bisa dianggap remeh. Penilaian ini muncul bukan hanya karena ia memiliki nuklir dan rudal jarak jauh, melainkan juga karena perhitungannya yang strategis. Hal ini tampak pada kesediaannya berdialog hanya dengan Korsel, tanpa bersama AS, dan tidak membahas perlucutan nuklir. ”Kim Jong Un jelas sudah menang di babak ini. Politisi yang kompeten,” ujar Putin.
(LUKI AULIA)