Setelah dua tahun bersitegang, Korea Selatan dan Korea Utara sepakat untuk kembali menjalin komunikasi, baik sipil maupun militer. Keduanya juga berjanji akan mengomunikasikan persoalan apa pun demi mencegah salah paham yang berbuntut perselisihan. Kesepakatan dua negara yang secara teknis masih dalam kondisi perang itu bisa tercapai berkat dialog dengan agenda utama partisipasi Korut dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korsel, bulan depan.
Dialog itu terwujud setelah Pemimpin Korut Kim Jong Un dalam pidato tahun barunya menyatakan kesediaannya mengirim atlet-atlet Korut ke Olimpiade. Presiden Korsel Moon Jae-in menyambut antusias niat itu dan mengajak berdialog yang kemudian terwujud di zona demiliterisasi Desa Panmunjom, Selasa lalu.
Korsel jelas berharap Olimpiade Musim Dingin menjadi pintu masuk rekonsiliasi hubungan bilateral kedua negara yang selama ini membeku. Begitu pula harapan China, Rusia, dan Jepang. Sebaliknya, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump curiga dan khawatir dialog itu akan memengaruhi aliansi AS dan Korsel.
Sampai saat ini, belum ada yang mengetahui motif Korut mengikuti Olimpiade Musim Dingin di Korsel. Beragam spekulasi beredar. Ada dugaan itu upaya Korut memecah belah AS dan Korsel. Ada pula dugaan Kim Jong Un terpaksa berdialog dengan Korsel untuk meringankan tekanan komunitas internasional dan sanksi Dewan Keamanan PBB. Ada pula yang meyakini Korut kini kesulitan akibat sanksi berat.
Sanksi terbaru DK PBB meliputi pembatasan penjualan bensin ke Korut sebanyak 500.000 barrel per tahun dan minyak mentah sebanyak 4 juta barrel per tahun. Semua pekerja Korut yang bekerja di luar negeri juga akan dipulangkan dalam waktu 24 bulan. Kedua sanksi itu yang diyakini efektif melumpuhkan Korut.
Namun, peneliti lembaga kajian Forum Masa Depan Semenanjung Korea Duveon Kim kepada mingguan Newsweek memperkirakan, Korut memanfaatkan Olimpiade sebagai ajang unjuk diri dan meyakinkan dunia bahwa mereka cinta perdamaian, bukan negara berbahaya, dan pengembangan senjata nuklir hanya untuk kepentingan pertahanan diri, bukan menyerang.
”Korut di era Kim Jong Un ini lebih sadar citra (image) daripada Korut zaman Kim Jong Il. Kim Jong Un mau negaranya dilihat sebagai negara kuat yang punya kekuatan nuklir tetapi cinta damai,” kata Duveon.
Setelah Olimpiade berakhir, banyak pihak khawatir Korut akan kembali provokatif. Untuk mengantisipasi itu, diplomasi olahraga akan bisa membantu. Namun, Scott Snyder, peneliti studi Korea di Dewan Hubungan Internasional, mengingatkan efektivitas diplomasi olahraga bergantung pada kemampuan memanfaatkan momentum. ”Perlu negosiasi dengan AS,” ujarnya.
Para pengamat mengusulkan solusi dengan pendekatan diplomatik ”pembekuan untuk pembekuan” untuk mengakhiri krisis nuklir Korut. AS membekukan latihan militer dengan Korsel dan Korut membekukan program nuklirnya. Pendekatan ini bisa dilakukan Korsel dan Korut. Namun, usulan solusi ini langsung ditolak Gedung Putih.
Diplomasi olahraga biasanya memberi solusi jangka pendek dan ini juga yang diyakini akan terjadi di Semenanjung Korea. Setelah itu, kata peneliti di Center for Strategic and International Studies, Andray Abrahamian, situasi kembali tegang seperti sebelum Olimpiade.
Olimpiade memang bisa memperbaiki hubungan Korut dengan Korsel dan AS. Namun, prosesnya tidak akan mudah karena ada banyak pihak yang terlibat. Pada kasus sebelumnya, di mana diplomasi olahraga berperan, kerap kali hanya melibatkan dua pihak seperti pertandingan kriket India dan Pakistan atau tenis meja China dan AS.
Skenario serangan
Kasus Korut ini berbeda. Keikutsertaan Korut di ajang olahraga internasional seperti Asian Games atau pertandingan sepak bola tidak juga berhasil menghentikan program nuklir Korut. Jika Korut atau AS tidak mengubah sikap, krisis keamanan tidak akan bisa selesai apalagi hanya dengan mengandalkan semangat Olimpiade. Korut dan AS juga disarankan untuk tidak saling curiga. Intelijen AS meyakini Kim Jong Un curiga AS hendak menggulingkan kekuasaannya. Karena itu, ia mencari perlindungan di balik persenjataan nuklir.
Bahkan, saat dialog dengan Korsel pun, Korut tidak mau diajak membicarakan perlucutan nuklir. Bagi Korut, tidak ada alasan bagi kedua negara untuk membahas isu itu karena rudal dan nuklir Korut hanya diarahkan ke wilayah AS.
Menyadari AS bisa menjadi sasaran empuk Korut, sebagian pejabat pemerintahan AS mengusulkan untuk mengebom tempat pengembangan rudal dan nuklir Korut sebelum Korut menyerang. Pilihan lainnya adalah menyerang lokasi nuklir atau rudal antarbenua Korut segera setelah Pyongyang mengujinya. Serangan seperti itu yang sejak awal ditentang China. Untuk meyakinkan China, AS menyatakan serangan itu hanya dibatasi satu titik sasaran dan bukan untuk menggulingkan kekuasaan Kim Jong Un.
Menurut Zhao Tong, pengamat Korut di Pusat Carnegie-Tsinghua China, menduga sikap Beijing bisa berubah jika Korut meluncurkan rudal antarbenua dengan hulu ledak nuklir ke arah Samudra Pasifik atau ke arah Guam.
Dalam pandangan China, pilihan militer pemerintahan Trump dilihat sebagai permainan psikologis belaka agar China dan Rusia tetap menekan Korut. Kalaupun Trump tidak serius dengan serangan militer ke Korut, tetap ada risiko salah perhitungan atau reaksi berlebihan dari Korut.
Karena serangan militer berisiko tinggi, Joel Wit dari Institut AS-Korea di John Hopkins University AS kepada harian The Straits Times menyatakan, 3-6 bulan ke depan adalah waktu yang tepat bagi AS untuk merangkul Korut. Seperti saat Olimpiade Seoul 1988, AS untuk sementara
mencabut sebagian sanksi karena
Korut tidak provokatif selama Olimpiade. Ini yang mengantarkan kesepakatan Korut membekukan program nuklirnya pada 1994.
Namun, Chung Eun-sook dari lembaga kajian Institut Sejong mengingatkan agar tidak berharap tinggi pada keberhasilan diplomasi olahraga. Selama ini diplomasi olahraga yang merupakan bentuk soft power itu tidak efektif dan sering berakhir dengan kekecewaan.
”Kalau Korut akhirnya mau datang ke Olimpiade, itu hanya sebagai tanda persahabatan. Tidak bisa dijadikan mekanisme jangka panjang untuk menyelesaikan krisis nuklir,” ujarnya. (LUKI AULIA)