Ambiguitas yang Menjadi Beban
Salah satu hal menarik dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, Selasa (9/1), adalah komitmen Pemerintah Indonesia untuk memperkuat Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular yang secara intensif dimulai pada 2017. Dalam kerangka kerja sama itu, setidaknya 31 negara di Asia, termasuk Palestina, Afrika, dan Pasifik Selatan, menjadi mitra Indonesia.
Bidang kerja sama meliputi perikanan, pertanian, ketahanan pangan, serta usaha kecil dan keuangan mikro. ”Secara khusus, sebagai negara sahabat, Indonesia turut memperkuat keterlibatan di kawasan Pasifik melalui pelatihan penguatan kapasitas dan bantuan kemanusiaan, terutama saat negara-negara di kawasan ini dilanda bencana alam, sebagai bentuk solidaritas sebagai warga dunia dan bangsa Pasifik,” kata Menlu Retno LP Marsudi.
Salah satu bentuk nyata langkah diplomasi itu adalah rekonstruksi Queen Victoria School di Fiji yang rusak parah karena tersapu badai. Selain itu, Indonesia juga melatih sejumlah nelayan Fiji membudidayakan rumput laut.
Lebih dari 36 perjanjian dengan negara-negara di kawasan Pasifik ditandatangani. Dalam tiga tahun terakhir, nilai kerja sama perdagangan Indonesia dengan negara-negara Pasifik terus meningkat; terakhir tercatat sebesar 9,8 miliar dollar AS.
Meskipun belum sebesar pencapaian nilai kerja sama ekonomi Indonesia-ASEAN yang lebih dari 68,6 miliar dollar AS, potensi kerja sama Indonesia dan Pasifik terus berkembang. Bahkan, Indonesia berkomitmen meningkatkan Kerja Sama Selatan-Selatan melalui pembentukan satu badan bantuan, yaitu Indonesian Aid.
”Anggaran awal program bantuan sebesar Rp 1 triliun. Pembentukan satu badan ini akan memperkokoh diplomasi Indonesia, termasuk diplomasi kemanusiaan,” ujar Retno.
Kehadiran badan itu tidak hanya ditujukan ke wilayah Pasifik, tetapi juga akan membantu membangun kemitraan secara luas yang menjadi salah satu kata kunci diplomasi Indonesia saat ini.
Namun, di sisi lain, langkah diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik Selatan tidak akan mudah. Salah satu isu yang hingga saat ini masih menjadi catatan adalah masalah Papua, khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia. Merujuk pada laporan Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) 2017, tekanan pada isu kebebasan berpendapat terus meningkat. Sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM, seperti penembakan di Paniai, Desember 2014, yang menewaskan empat pelajar, tetap menjadi sorotan. Kasus itu tak kunjung tuntas meski Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar kasus itu segera diselesaikan.
Terkait isu sosial, ekonomi, dan budaya, persoalan minimnya layanan pendidikan dan kesehatan tetap menjadi persoalan dasar yang hingga saat ini belum terselesaikan. Pengembangan besar-besaran infrastruktur fisik belum dibarengi dengan konsistensi kehadiran perangkat pemerintah yang memastikan layanan kesehatan dan pendidikan dasar di pelosok Papua terselenggara dengan baik.
Situasi itu menjadi tantangan—jika tidak disebut sebagai beban—dalam upaya membangun dukungan dari mitra di belahan selatan Indonesia. Pemerintah tidak bisa mengabaikan masih ada sejumlah negara di Pasifik Selatan memberi perhatian dan berkali-kali mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua dalam forum internasional.
Ketika dihubungi, Sabtu (13/1), peneliti senior LIPI, Adriana Elisabeth, menyatakan, di tengah derasnya arus informasi, Indonesia cenderung mendomestifikasi isu Papua. ”Diplomasi Indonesia di Pasifik Selatan merupakan kontradiksi dari dukungan kepada Palestina karena klaim bahwa Papua adalah isu domestik,” kata Adriana.
”Salah satu upaya membendung internasionalisasi isu Papua adalah dengan memberikan bantuan atau kerja sama teknis kepada negara di Pasifik Selatan. Jadi, Pasifik Selatan dalam konteks Papua tidak bisa dijadikan jantung persoalan karena secara diplomatik Pemerintah Indonesia menghindari isu ini menguat secara internasional,” tutur Adriana.
Situasi itu, menurut Adriana, berbeda dengan posisi Vanuatu yang dalam konstitusi mereka menyatakan dukungan dan solidaritas kepada semua ras Melanesia yang masih mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. ”Persoalan dan kondisi HAM yang dialami warga Papua menjadi perhatian utama mereka,” ucapnya.
Situasi ini menjadi tantangan kuat bagi diplomasi Indonesia, yang menempatkan demokrasi dan HAM sebagai aset diplomasi. ”Demokrasi dan hak asasi manusia akan terus menjadi aset bagi diplomasi Indonesia. Demokrasi adalah alat untuk mencapai tujuan, yaitu perdamaian dan kesejahteraan. Nilai demokrasi harus diinspirasikan secara demokratis pula,” tutur Retno.
Di tengah maraknya skeptisisme pada nilai dan kemunduran praktik demokrasi dan HAM di sejumlah negara (Rohingya di Myanmar, klaim Israel atas Jerusalem, konflik di Yaman, dan Suriah), tantangan di Pasifik Selatan selayaknya menjadi batu ujian bagi Indonesia yang mencoba menghadirkan diri sebagai salah satu motor demokrasi dunia.
Inisiatif Indonesia menggelar Bali Democracy Forum dapat menjadi pemacu bagi Indonesia. Dalam kaitan dengan isu Papua, beban diplomasi Indonesia akan semakin ringan jika para pemangku kepentingan di dalam negeri sungguh-sungguh menuntaskan tanggung jawab mereka.
Bagaimanapun, ambiguitas akibat kondisi domestik yang tak kunjung membaik, terutama terkait dengan penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM dan pemenuhan hak-hak dasar warga Papua, akan menjadi kendala atau beban bagi diplomasi Indonesia. (B Josie Susilo Hardianto)