TUNIS, MINGGU — Setelah unjuk rasa penolakan kebijakan ekonomi memasuki pekan kedua, Pemerintah Tunisia akhirnya tidak bergeming lagi. Di tengah pengetatan APBN, Tunisia mengumumkan rencana peningkatan bantuan bagi keluarga tak mampu dan perbaikan layanan kesehatan sebagai bagian dari reformasi jaminan sosial.
Menteri Sosial Tunisia Mohamed Trabelsi mengatakan, bantuan untuk keluarga kurang mampu dinaikkan dari 150 dinar (sekitar Rp 823.000) menjadi 180 dinar (Rp 987.000) hingga 210 dinar (Rp 1,15 juta) per bulan. Reformasi bantuan sosial akan mencakup pula jaminan kesehatan bagi seluruh warga Tunisia dan perumahan bagi keluarga tidak mampu.
Pengumuman itu disampaikan setelah Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi bertemu partai-partai politik, Sabtu (13/1). Essebsi juga bertemu serikat pekerja dan para pekerja. Ia berjanji akan menemui penghuni kawasan miskin di Tunis, ibu kota Tunisia. Kawasan itu menjadi salah satu lokasi unjuk rasa yang merebak di sejumlah wilayah sejak 7 Januari.
”Kami membahas kondisi negara, khususnya sosial ekonomi, yang harus disikapi untuk mengatasi masalah saat ini,” ujar Wided Bouchamaoui, Ketua Serikat Pekerja (UTICA), yang ditemui Presiden Essebsi.
Bersama serikat buruh (UGTT), asosiasi pembela hak asasi manusia (LTDH), dan asosiasi pengacara, UTICA meraih Nobel Perdamaian 2015 atas peran mereka selama masa transisi di Tunisia menuju demokrasi pascarevolusi.
Ketua Partai Gerakan Ennahda, Rached Ghannouchi, mengatakan, usulan hasil pertemuan pada Sabtu lalu adalah untuk meredakan ketegangan tanpa merusak APBN 2018 yang sedang diprotes. Ennahda merupakan partai politik kelompok Islamis yang bergabung dengan koalisi Pemerintah Tunisia kini.
APBN Tunisia 2018 menjadi sumber pemicu serangkaian unjuk rasa di sejumlah tempat. Pemerintah Tunisia menetapkan pengetatan demi mengatasi defisit dan kesangkilan anggaran. Salah satu wujud kebijakan itu adalah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai yang berdampak pada naiknya harga aneka kebutuhan warga.
Kenaikan itu memicu kemarahan banyak orang Tunisia yang sudah merasakan kesulitan ekonomi selama beberapa tahun terakhir. Mereka mengungkapkan kemarahan lewat unjuk rasa di berbagai penjuru negara itu. Sebagian besar pelaku adalah pemuda, pekerja, dan warga tidak mampu. Mereka meminta kebijakan pengetatan dibatalkan.
Seorang pria berusia 40-an tahun meninggal dalam unjuk rasa di kota Tebourba, Tunisia utara, Senin pekan lalu.
Unjuk rasa tersebut berlangsung di tengah keterpurukan ekonomi yang tidak kunjung bisa diselesaikan. Pengangguran dan orang miskin tetap banyak. Padahal, warga Tunisia berharap penggulingan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada 2011 bisa mengubah keadaan. Faktanya, Tunisia baru bisa mereformasi tatanan politik, tetapi belum diikuti perbaikan ekonomi.
Penggulingan Ben Ali dan reformasi Tunisia, yang diperingati untuk ketujuh tahun, Minggu, disebut salah satu contoh sukses Musim Semi Arab. (AFP/RAZ)