MANILA, SELASA — Majelis Rendah Filipina saat ini sedang menggodok perubahan konstitusi yang berusia 30 tahun. Filipina ingin mengubah sistem pemerintahan menjadi sistem federal dan mengizinkan seorang presiden menjabat selama dua periode berturut-turut.
Mengubah Filipina menjadi negara federal merupakan isu kunci yang dikampanyekan Presiden Rodrigo Duterte pada pemilu lalu. Alasannya, ia melihat sentralisasi pemerintahan telah menyebabkan banyak provinsi di Filipina berada di garis kemiskinan.
Pendukung Duterte yang menguasai mayoritas kursi di parlemen menginginkan perubahan konstitusi yang lebih luas, termasuk menambah jumlah kursi di parlemen, memperpanjang masa kerja anggota parlemen, dan memberi otonomi keuangan pada provinsi.
Menurut rencana, draf amandemen konstitusi akan diselesaikan akhir tahun ini dan referendum akan dilaksanakan pada Mei 2019. ”Jangan buang-buang waktu dan uang rakyat, kita segera bersidang untuk memulai ini,” ujar ketua panel amandemen konstitusi, Roger Mercado.
Proses persidangan untuk mengubah konstitusi akan menelan biaya sekitar 218 juta dollar AS. Dengan konstitusi baru, presiden akan dipilih secara terpisah dan Filipina juga akan memiliki perdana menteri.
Namun, kubu oposisi melihat perubahan itu sebagai upaya memperpanjang masa kerja anggota DPR dan membuka jalan bagi Duterte untuk memperpanjang kekuasaannya yang seharusnya berakhir pada 2022. Oposisi mengingatkan, konstitusi yang dibuat pada tahun 1987 itu bertujuan mencegah terulangnya pemerintahan otoriter ala Ferdinand Marcos.
Kebebasan pers
Saat ini Duterte kembali disorot dunia internasional setelah otoritas Filipina, kemarin, mencabut lisensi situs berita Rappler yang selama ini intens memberitakan upaya Duterte memerangi narkoba yang telah menelan korban jiwa ribuan orang. Duterte tahun lalu menyebut Rappler ”sepenuhnya dikuasai Amerika.”
Menurut Departemen Kehakiman, Rappler dinilai telah melanggar aturan soal kepemilikan media domestik oleh perusahaan asing. Amnesty International menyebut langkah itu bertujuan membungkam jurnalisme independen.(AP/AFP/REUTERS/MYR)