Seseorang yang dituntut dengan menggunakan hukum Lese Majeste di Thailand biasanya akan berakhir dengan meringkuk di penjara, ancamannya hingga 15 tahun. Tidak pernah ada orang yang lolos dari hukum ini. Namun, seorang sejarawan sepuh Thailand berhasil lolos dari ”lubang jarum” tersebut.
Pengadilan militer di Bangkok, Thailand, Rabu (17/1), membatalkan tuntutan terhadap sejarawan sepuh, Sulak Sivaraksa (85). Tuntutan itu semula disiapkan karena Sivaraksa dinilai menghina kerajaan dalam seminar universitas pada tahun 2014.
Saat itu Sulak mempertanyakan apakah pertempuran dengan gajah pada tahun 1593 benar-benar terjadi. Dalam pertarungan ini, Raja Thailand Naraesuan disebutkan membunuh Pangeran Burma.
Sulak dituntut pada Oktober 2017 dengan Undang-Undang Lese Majeste yang selama ini digunakan untuk melindungi monarki Thailand. Pengadilan militer Bangkok telah sepakat untuk mendengar opini dari sejarawan dan para pakar
sebelum membatalkan tuduhan karena dinilai bukti-bukti sangat minim.
Sulak, akademisi senior yang menyebut dirinya sebagai royalis, mengatakan, dirinya mengajukan petisi kepada pemimpin baru Thailand, Raja Vajiralongkorn, untuk mendapatkan bantuan sehingga tuntutan terhadapnya dibatalkan. ”Saya menghubungi banyak orang untuk meminta bantuan, tetapi tidak ada yang berani. Maka, saya mengajukan petisi kepada raja. Jika bukan karena bantuan Yang Mulia, kasus ini tidak akan dibatalkan,” ujarnya.
Sejak 2014
Kasus Sulak bermula dari ceramahnya di universitas pada 2014 ketika meminta warga Thailand ”tidak menjadi korban propaganda”. Ia lalu mempertanyakan apakah Raja Naraesuan benar-benar memenangi pertarungan tahun 1593.
Cerita tentang Raja Naraesuan adalah salah satu sejarah Thailand yang paling terkenal. Tanggal pertarungan tersebut, yakni 18 Januari, diperingati setiap tahun dengan parade militer. Gugatan dari Sulak tersebut dinilai oleh junta militer sebagai tindakan penghinaan terhadap monarki.
Siapa saja yang dinilai menghina monarki akan dihukum 3-15 tahun penjara. Hukum Lese Majeste itu hanya melindungi raja, ratu, dan ahli warisnya, tetapi dalam praktiknya peraturan tersebut dapat ditafsirkan lebih luas. Pemerintah militer dikritik karena sering menggunakan undang-undang itu untuk membungkam kritik setelah melakukan kudeta pada Mei 2014.
(AP/AFP/REUTERS/LOK)