Sengkarut Koalisi Turki
Sokongan Amerika Serikat kepada milisi Kurdi di Suriah membuat Turki marah besar. Pernah disatukan oleh kepentingan mendongkel rezim Bashar al-Assad dan bahu-membahu dengan AS menggempur Suriah dalam koalisi internasional pimpinan AS sejak September 2014, Turki kini memunggungi AS. Turki pun semakin erat dengan Rusia dan Iran, rival AS dalam perang di Suriah.
Awal Januari 2017, Turki dan Rusia bahkan sudah berkongsi dalam menggempur milisi NIIS di dekat kota Al-Bab, sekitar 47 kilometer timur laut Aleppo, Suriah. Saat itu, Al-Bab merupakan kota terakhir yang dikontrol NIIS secara penuh di wilayah Suriah utara dan dekat perbatasan Turki.
Seperti saat menggalang operasi bernama ”Perisai Eufrat” untuk mengusir NIIS dari wilayah Suriah utara dan timur laut, misi Turki di Suriah terutama difokuskan mencegah terbentuknya kesatuan wilayah Kurdi yang membentang antara kota Kobane di timur dan kota Afrin di barat.
Bagi Turki, bangkitnya warga Kurdi dan munculnya bibit-bibit tumbuhnya aspirasi negara Kurdi adalah garis merah yang tak bisa dikompromikan.
Pangkal masalah kemarahan Turki kepada AS terakhir ini adalah pasukan perbatasan Suriah yang disiapkan AS dan akan diisi milisi Kurdi dalam satuan Unit Perlindungan Rakyat (YPG). Dengan alasan tidak mau kelompok NIIS bangkit lagi, AS dan sekutunya akan membentuk pasukan penjaga perbatasan di utara Suriah yang berkekuatan hingga 30.000 orang dalam beberapa tahun ke depan.
Tikaman dari belakang
Turki tidak bisa menahan kemarahan atas rencana AS itu. Bagi Ankara, Kurdi adalah pemberontak dan terus merongrong kedaulatan Turki. Karena itu, rencana pembentukan pasukan itu dianggap Turki seperti tikaman dari belakang. ”Kami akan mencekiknya sebelum (pasukan itu) dilahirkan,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Kemarahan Ankara bisa dipahami. Selama perang melawan NIIS di Irak dan Suriah, Turki menyediakan pangkalan Incirlik sebagai salah satu pangkalan bagi serangan udara AS dan sekutunya. Jauh sebelum itu, Incirlik sudah dipakai AS selama puluhan tahun untuk sejumlah operasi di Timur Tengah dan Mediterania.
AS dan Turki juga sama-sama bergabung di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), aliansi militer peninggalan Perang Dingin yang dibentuk untuk menghadapi blok Uni Soviet. Selain itu, AS dan Turki mendukung sejumlah kelompok oposisi dalam perang saudara di Suriah.
Namun, begitu mencium tanda-tanda milisi Kurdi mendapat angin dan mendatangkan ancaman bagi kedaulatannya, Turki merapat ke Rusia-Iran, yang menjadi penopang rezim Assad. Tidak hanya diwujudkan melalui kerja sama dalam pertempuran, koalisi Turki-Rusia juga diperluas di meja diplomasi lewat perundingan damai di Astana, Januari 2017.
Restu Moskwa
Kamis (18/1), Panglima Angkatan Bersenjata Turki Jenderal Hulusi Akar terbang ke Moskwa, Rusia. Misinya satu: meminta izin Rusia untuk menggempur Provinsi Afrin, Suriah. Provinsi itu menjadi basis kekuatan milisi Kurdi, YPG, sokongan AS.
Menurut Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, Akar membahas soal Afrin, Idlib, dan masa depan Suriah. ”Kami akan masuk Afrin. Kami bertemu Rusia dan Iran untuk penggunaan ruang udara mereka,” ujarnya.
Ankara juga ingin mengoordinasikan soal sejumlah pemantau Rusia di Afrin. ”Saat kami melakukan intervensi, jangan sampai berdampak pada pemantau Rusia,” ucapnya.
Cavusoglu juga kembali menekankan, Turki tidak puas dengan dukungan AS pada Kurdi. Ketidakpuasan itu telah dia sampaikan saat bertemu Menlu AS Rex Tillerson dan Menteri Pertahanan AS Jim Mattis.
”Kami menyampaikan ketaknyaman kami dalam pertemuan itu. Pernyataan AS tidak benar-benar memuaskan. Ketidakpercayaan kami kepada AS masih berlanjut,” tutur Cavusoglu.
Belum ada kabar lanjutan soal kunjungan Akar itu. Jumat (19/1) dini hari, Turki sudah menembakkan puluhan mortir ke permukiman di perbatasan Suriah-Turki. Akan tetapi, belum ada pasukan atau jet tempur Turki yang melintasi perbatasan.
Turki ingin menghancurkan YPG dan mencegah ada pembentukan kekuatan Kurdi di perbatasannya. Kurdi memang sejak lama menjadi duri bagi Turki, juga Iran, Irak, dan Suriah.
Kurdi mendapat banyak keuntungan selama perang melawan NIIS. Bangsa tanpa negara sendiri itu mendapat pasokan persenjataan untuk melawan NIIS. Menjelang NIIS runtuh, Kurdi di Irak membuat referendum dan menyatakan ingin merdeka. Tidak cukup otonomi luas.
Referendum itu menyengat Iran dan Turki. Mereka menemukan titik temu kepentingan dalam meredam Kurdi. Bahkan, Turki sampai bersedia menurunkan tuntutan soal Assad. Turki tak lagi secara terbuka meminta Assad mundur. Ankara menyatakan, soal itu diserahkan kepada warga Suriah.
Persekongkolan Turki dengan Iran-Rusia tentu saja tidak menyenangkan Suriah. Apa pun kesepakatan ketiga negara itu, Suriah akan menanggung dampak karena menjadi sasaran pengeboman. ”Angkatan Udara Suriah dapat menghancurkan jet tempur Turki di langit Suriah,” kata Wakil Menlu Suriah Faisal Mekad. (AFP/reuters/raz)