Ingat Revolusi
Melihat foto Ayatollah Ruhollah Khomeini (Imam Khomeini) dan Imam Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, di tempat pengambilan barang di Bandara Internasional Imam Khomeini di Teheran, Iran, ingatan langsung ke revolusi. Khomeini, yang foto dirinya dalam berbagai ukuran hingga seukuran billboard ada di mana-mana di penjuru Iran, adalah identik dengan revolusi.
Khomeini, ulama dari Qom yang pernah ditahan dua bulan kemudian dibuang dan tinggal di Perancis selama 15 tahun, merupakan pengobar Revolusi Islam 1979. Dalam revolusi ini, rakyat melawan negara: sebuah revolusi yang dilancarkan seluruh rakyat dengan beragam ideologi, yang paling dominan adalah Islam dan Marxisme-Leninisme (antara lain Fada’i, Tudeh, Maoist, dan Trotskyist) melawan negara.
Siapa yang pernah menduga orang paling kuat di Iran, Shah Reza, yang antara lain bergelar Shahanshah atau raja diraja dan mendapat dukungan dari AS, berhasil digulingkan oleh gerakan massa yang dipimpin Khomeini. Ketika pemerintahan Shah Reza Pahlevi dinilai terlalu tunduk pada AS sehingga disebut sebagai ”boneka AS” dan melakukan sekularisasi masyarakat Iran, maka yang tidak diduga itu terjadi.
Shah Iran sedikit demi sedikit kehilangan dukungan dari kalangan ulama Syiah karena kebijakan modernisasinya, yakni Laïcité (sekulariasi). Ia juga kehilangan dukungan dari kelas pekerja, bentrok dengan kelas pedagang tradisional yang dikenal dengan bazaari, hubungannya dengan Israel, dan isu-isu korupsi yang menempel pada orang-orang di sekitarnya, keluarganya, dan elite yang berkuasa. Masih ada sebab-sebab lain yang menjadi pendorong terjadinya revolusi.
Revolusi 1979 paling tidak menandai dua hal. Pertama, tersingkirnya Mohammad Shah Reza Pahlevi dari puncak kekuasaan (setelah berkuasa sejak 16 September 1941 hingga 11 Februari 1979) yang berarti runtuhnya kerajaan Iran. Kedua, tampilnya Khomeini sebagai pemimpin Iran dan bahkan kemudian diangkat menjadi Pemimpin Besar Iran serta menandai lahirnya Republik Islam Iran. Republik Islam Iran lahir pada 1 April 1979; konstitusinya diratifikasi lewat referendum nasional pada 2-3 Desember 1979.
Tampilnya Khomeini sebagai pemimpin Iran dan bahkan kemudian diangkat menjadi Pemimpin Besar Iran serta menandai lahirnya Republik Islam Iran.
Ada yang mengatakan bahwa Revolusi 1979 adalah revolusi pertama di zaman modern. Meskipun banyak yang bertanyatanya bagaimana revolusi yang tidak menggunakan kekuatan militer atau perang gerilya tetapi alat politik, yakni aksi massa di jalan dan pemogokan umum (mulai Oktober 1978 yang menyebabkan runtuhnya perekonomian dan perdagangan) melahirkan negara Republik Islam?
Barangkali hal ini adalah kehebatan Khomeini karena platform Khomeini dalam membentuk negara adalah ”bukan Barat dan bukan Timur.” Itulah sebabnya ia mendirikan republik Islam. Republik Islam Iran adalah rezim teokratik, dengan otoritas religius memerintah dan hukum agama sebagai bagian dari undang-undang negara. Dari sinilah kemudian muncul istilah ”ekspor revolusi.” Iran dikhawatirkan akan mengekspor revolusinya ke negara-negara lain. Negara-negara Timur Tengah, terutama, yang mengkhawatirkan hal itu.
Kini, setelah hampir 40 tahun revolusi berlalu, apakah salah satu slogan utama revolusi, ”Kemerdekaan, Kebebasan, Republik Islam” (mirip-mirip dengan moto Revolusi Perancis: liberté, égalité, fraternité , kebebasan, persamaan, persaudaraan), sudah benar-benar terwujud? Aksi anti-pemerintah dan antirezim yang berkuasa, Desember lalu, menjadi catatan bahwa slogan itu belum sepenuhnya tergenapi. Keengganan media di Iran untuk menulis berita-berita politik dalam negeri adalah catatan lain tentang belum sepenuhnya ”kebebasan” (berpendapat) terpenuhi walaupun dijamin oleh konstitusi.
Pertanyaan itu pantas diajukan ketika menyaksikan Mausoleum Khomeini berdiri megah di sebelah kanan jalan yang menghubungkan Bandara Internasional Imam Khomeini dengan Teheran. Mausoleum Khomeini adalah kebanggaan rakyat Iran. Namun, menggenapi cita-cita Khomeini, yakni mendirikan negara republik Islam Iran yang menjunjung ”kemerdekaan dan kebebasan” adalah kebanggaan yang lain. Ataukah revolusi Iran belum selesai seperti judul buku Iran: A Revolutionary Republic In Transition dengan editor Rouzbeh Parsi? Kalau Revolusi Iran belum selesai, lalu bagaimana dengan ”revolusi mental” yang digelorakan tiga tahun lalu di Indonesia?