YANGOON, MINGGU — Mahkamah Militer Myanmar membuat keputusan langka. Hakim pengadilan itu menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan kerja paksa untuk enam tentara karena membunuh tiga warga sipil.
Dalam pengumuman yang disampaikan pada Sabtu (20/1), Pemerintah Myanmar menyatakan pembunuhan terjadi di Provinsi Kachin, September 2017. Perwira polisi Kachin, Min Zaw, mengatakan, enam tentara ini mengakui melakukan pembunuhan.
Provinsi itu adalah salah satu lokasi pergolakan senjata di Myanmar. Lebih dari tujuh tahun terakhir terjadi pertempuran antara militer Myanmar dan kelompok bersenjata yang didominasi etnis Kachin. Lebih dari 100.000 orang mengungsi akibat konflik tersebut.
Dalam dokumen kasus disebutkan bahwa tiga korban tewas itu merupakan bagian dari lima orang yang ditangkap aparat tahun lalu. Kala itu, mereka hendak pulang ke tempat pengungsian setelah mencari kayu bakar di dekat Desa Hka Pra Yang.
Di tengah perjalanan pulang, mereka ditangkap dan diperiksa. Belakangan, dua orang dilepaskan dan tiga warga lainnya tetap ditahan. Pria-pria yang ditahan ini akhirnya ditemukan tewas di sebuah kolam.
Kelompok pembela HAM menyambut baik vonis yang disebut amat jarang dijatuhkan itu. Mereka juga menyebut vonis ini sebagai langkah awal mengakhiri kekebalan hukum bagi tentara.
Meskipun demikian, keraguan tetap muncul karena sidang pengadilan berlangsung tertutup. ”Ada alasan sidang militer berlangsung tertutup. Cara itu memudahkan upaya menutupi penyalahgunaan wewenang secara sistematis dan meluas,” ujar David Baulk, pegiat khusus Myanmar pada kelompok pembela HAM Fortify Rights.
Tuduhan kekebalan hukum sudah diarahkan ke militer Myanmar atau Tatmadaw selama puluhan tahun. Tuduhan paling terakhir terkait dugaan pembersihan etnis terhadap warga Rohingya di Provinsi Rakhine.
Terkait Rakhine, pekan lalu, militer mengumumkan keterlibatan sejumlah tentara dalam pembunuhan 10 warga Rohingnya. Penyelidikan atas kasus itu masih berlangsung.
Menolak
Di Bangladesh, dilaporkan terjadi ketegangan, Minggu (21/1), di tempat penampungan pengungsi Rohingya. Para pengungsi menolak rencana pemulangan ke Myanmar seperti sudah disepakati Bangladesh dan Myanmar.
Mereka membentangkan handuk yang ditulisi kata-kata protes. Unjuk rasa dilakukan saat Pelapor Khusus PBB Yanghee Lee mengunjungi kamp pengungsian di Bangladesh. Sejumlah pengungsi mengaku diancam oleh tentara Bangladesh jika tak mau kembali ke Myanmar.
Pengungsi menolak kembali sebelum keselamatan mereka di Myanmar terjamin. Mereka juga minta diakui sebagai warga negara dan dimasukkan dalam daftar warga minoritas. Mereka menginginkan pembangunan ulang rumah, tempat ibadah, dan sekolah yang dibakar militer dan massa yang diduga didukung aparat. (AP/REUTES/RAZ)