Ali tiba-tiba menghentikan mobil yang dikemudikan persis di depan pintu gerbang masuk ke kompleks bekas Kedutaan Besar AS di Teheran. Kompleks kedutaan di Teleghani Boulevard itu sejak Januari tahun lalu diubah menjadi museum: Museum Anti-Amerika.
Sejak itu, kompleks yang pernah dijadikan sebagai pusat pendidikan Garda Revolusi itu dibuka untuk umum. Di dalam bangunan utama museum dipamerkan antara lain perlengkapan telekomunikasi, ruang untuk mendengarkan, bukti-bukti intervensi CIA di Iran, dan pemandangan pendudukan tempat itu oleh para mahasiswa pada 4 November 1979.
Di gedung itu, 52 orang Amerika sempat disandera selama 444 hari. Gedung dua lantai karya arsitek Ides van der Gracht yang dibangun pada 1948 dengan menggunakan batu bata merah itu, dengan demikian, benar-benar menjadi monumen yang mengingatkan orang akan keberadaan AS di Iran.
Selain digunakan sebagai museum, ada bagian dari gedung itu yang dimanfaatkan menjadi semacam kantor organisasi mahasiswa. Penyerbuan dan pendudukan gedung oleh mahasiswa itulah yang mengakhiri misi diplomatik AS di Iran dan, 7 April 1980, hubungan diplomatik kedua negara resmi putus.
Ketika beberapa hari lalu berdiri di depan kompleks bekas gedung kedutaan itu, yang teringat pertama adalah film Argo yang disutradarai Ben Affleck. Film itu mengisahkan upaya penyelamatan enam diplomat AS yang bersembunyi di rumah Duta Besar Kanada setelah melarikan diri dari gedung Kedubes AS yang diserang massa mahasiswa anti-Amerika.
Massa marah karena AS melindungi mantan raja mereka, Shah Reza Pahlevi, yang dipaksa turun takhta dan meninggalkan Iran dalam Revolusi 1979 pimpinan Ayatollah Khomeini.
Krisis sandera itu yang menjadi awal dijatuhkannya sanksi ekonomi oleh AS terhadap Iran. Presiden Jimmy Carter, waktu itu, menghentikan impor minyak dari Iran, membekukan semua aset Iran di bank-bank AS. Pada 1995, sanksi diperluas, mencakup perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan Iran.
Situasi bertambah buruk setelah Dewan Keamanan PBB pada 2006 menerbitkan Resolusi 1696 dan menjatuhkan sanksi setelah Iran menolak untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya. Target sanksi AS adalah investasi di bidang minyak, gas, dan petrokimia, ekspor produk-produk petroleum, dan bisnis yang berkaitan dengan Garda Revolusi.
Selama hampir 40 tahun, sampai tercapai kesepakatan nuklir di Vienna, Austria, pada 14 Juli 2015 antara Iran dan P5+1 (lima anggota tetap DK PBB-China, Perancis, Rusia, Inggris, AS ditambah Jerman, serta Uni Eropa)-Iran hidup di bawah sanksi. Sanksi ini telah mengisolasi Iran yang kaya akan minyak dan gas secara ekonomi. Kondisi bertambah buruk setelah Iran terlibat perang dengan Irak (1980-1988).
Setelah perang, tahun 1990-an, Iran berusaha membangun kembali produksi minyaknya, menarik investasi internasional, meningkatkan hubungan luar negeri, dan meliberalisasi perdagangan.
Kegigihan Iran ini telah mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi setelah perang, termasuk pemulihan kembali hasil minyak. Namun, pada saat ini, harga minyak jatuh.
Ketika Iran tengah berjuang untuk bangkit, PBB mendorong masyarakat internasional untuk lebih kuat menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Pada Maret 2008, DK PBB menjatuhkan sanksi ketiga terhadap Iran dengan menerbitkan Resolusi 1803, berkait dengan seruan agar Iran menghentikan program pengayaan uranium.
Pada Juni 2008, lima negara anggota tetap DK PBB dan Jerman menawarkan penghentian sanksi jika Iran menyepakati menghentikan program pengayaan uranium dan memulai perundingan mengenai aktivitas nuklirnya. Perundingan panjang masalah ini baru selesai dan disepakati pada 2015. Sejak itu, sanksi dicabut meski belum pulih sepenuhnya.
Meskipun bertahun-tahun dikenai sanksi, Iran tetap bertahan hidup, bahkan tetap menjadi negara yang disegani di kawasan. Sanksi telah membuat Iran swasembada dalam banyak hal; berdiri di atas kaki sendiri. Iran juga mencapai kemajuan di banyak bidang, antara lain di bidang nanoteknologi, pertanian, nuklir, dan kedokteran. Sanksi yang diterapkan hampir 40 tahun tidak meruntuhkan fondasi dan infrastruktur yang menjadi topangan negara itu.
Apa yang membuat semua itu? "Iman dan kepercayaan," kata Abbas Khamehyar, Deputi Masalah-masalah Internasional Islamic Culture and Relations Organization (ICRO), sambil menambahkan, "Kami rakyat dan bangsa Iran memiliki slogan \'Kami Bisa\'. Dan, kami memang bisa keluar dari krisis meskipun terus ditekan."