Peristiwa ini masih belum hilang dari ingatan rakyat Iran, terutama kalangan media. Tanggal 13 Juni 2009, ketika hasil resmi pemilihan presiden diumumkan yang menyatakan kemenangan Mahmoud Ahmadinejad atas Mir Hossein Mousavi, massa pendukung Mousavi tumpah ruah ke jalan-jalan. Mereka mempertanyakan validitas hasil pemilu dengan meneriakkan slogan ”di mana suara saya?” Inilah awal gerakan politik di Iran yang disebut Gerakan Hijau. Hijau adalah warna kampanye Mousavi dan pendukung Mousavi mengenakan pakaian dan segala macam atribut warna hijau.
Dalam waktu singkat, foto-foto dan video demonstrasi tersebar luas lewat internet. Media sosial pun memainkan sarana sangat penting bagi para demonstran untuk mengorganisasi demonstrasi, berbagi berita dan informasi. Sekalipun pada waktu itu pemerintah melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap media sosial, toh mereka tak bisa dibendung. Itulah sebabnya, media Barat menyebut apa yang terjadi di Iran itu sebagai ”Revolusi Twitter” karena digunakannya teknologi Twitter untuk menembus hadangan pemerintah.
Tindakan pemerintah saat itu, untuk melawan demonstran termasuk kalangan media yang memberitakan demonstrasi, sangat keras. Sebulan setelah sengketa suara, hampir 40 wartawan masih mendekam di penjara. Lanskap media Iran, seperti banyak aspek dari rezim teokratik, diwarnai kontradiksi: kadang arus informasi diperketat, tetapi kadang diperlonggar.
Menjadi sangat wajar pada Mei 2009, Freedom House menempatkan Iran di peringkat ke-181 dari 195 negara untuk keterbukaan media. Ini sejajar dengan China dan Rwanda, dan di bawah Suriah, Sudan, dan Somalia. Namun, Stephen C Fairbank, mantan analis tentang Iran dari Kementerian Luar Negeri AS dan mantan Direktur Radio Free Europe/Radio Liberty Persian, mengatakan, kebijakan pers Iran, dibandingkan dengan norma-norma Barat, ”tidak draconia” (Greg Bruno: 2009).
Apa pun ”tragedi media” setelah Pemilu 2009 menjadi catatan dan selalu diingat oleh kalangan pers. Mereka tidak ingin mengulang tragedi itu. Karena itu, sangat menarik apa yang dikatakan oleh Payman Yazdani dari Kantor Berita Mehr dan surat kabar Tehran Times. Ia mengatakan, sesuai dengan namanya, yakni Mehr, kantor berita ini dan (Tehran Times) memilih ”jalan tengah” dalam pemberitaan.
Kata mehr berarti ’kebaikan’. Demi kebaikan bersama dan dirinya sendiri, ditempuhlah ”jalan tengah” dalam menyampaikan berita. Dalam dunia politik, ”jalan tengah” berarti tidak liberal ataupun konservatif; bukan sayap kanan ataupun sayap kiri, dan sama sekali tidak ekstrem, tetapi moderat, tidak radikal, dan tidak reaksioner. Dan dalam dunia jurnalisme berarti, ”Yang penting pesan sampai.”
Claudio Acquaviva SJ (14 Januari 1543-31 Januari 1615), seorang imam Jesuit Italia, memiliki rumusan lain: fortiter in re, suaviter in modo. Frasa dalam bahasa Latin ini berarti, ”tegas dalam tindakan, lembut dalam cara”. Atau dalam rumusan lain lagi, ”Jadilah singa di atas mimbar dan seekor anak domba di dalam kotak”. Yang penting, sekali lagi, pesan yang hendak disampaikan sampai ke sasaran tidak kurang, tidak lebih.
Cara seperti itu yang dipilih, antara lain, oleh kantor berita Mehr dan koran Tehran Times. Sementara media lainnya lebih memilih tidak memberitakan masalah-masalah politik dalam negeri dan memilih masalah-masalah internasional, seperti yang dilakukan oleh Press TV. Hispan TV, yang beritanya berbahasa Spanyol pun hanya memberitakan masalah budaya, kesenian, dan ekonomi. Apalagi, Hispan TV dibiayai pemerintah. ”Kami tidak memberitakan masalah politik Iran,” kata Wahid, salah seorang editor desk media sosial.
Apakah itu berarti tidak ada kebebasan pers di Iran? Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab secara tegas oleh para awak media di Iran. ”Kebebasan pers ibarat buruk muka cermin dibelah.” Itu rumusan Yazdan Haghi, News Deputy IRNA (Islamic Republic News Agency), kantor berita Iran milik pemerintah. Sairauz Sabook Rooh, editor desk pengalih bahasa dari bahasa Parsi ke bahasa Inggris di Iran Daily (daring), ketika ditanya ”apakah tidak ada kebebasan pers di Iran?” lebih senang menjawab, ”Yah, di mana-mana, di negara mana pun, selalu ada aturan. Aturan yang harus dihormati dan ditaati.” Seperti di Indonesia dahulu ada yang disebut sebagai ”Pers Pancasila”, pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Konstitusi Iran memberikan kebebasan pers sepanjang yang dipublikasikan sesuai dengan prinsip-prisip Islam. Pasal 24 Konstitusi Iran menyatakan, ”publikasi dan pers memiliki kebebasan berekspresi”, tetapi masih ada catatan lanjutannya yang bisa mengancam kelangsungan hidup media yang bersangkutan. Tambahan lagi, Iran masih memberlakukan surat izin penerbitan yang harus diperbarui setiap tiga tahun sekali.
Karena itu, banyak dari mereka memilih ”jalan tengah”.