Ledakan jumlah miliarder bukan tanda pesatnya pertumbuhan ekonomi, melainkan justru gejala gagalnya sistem ekonomi.” Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif Oxfam Winnie Byanyima, awal pekan ini.
Oxfam, salah satu organisasi nirlaba untuk masalah-masalah sosial, mengeluarkan hasil riset terbarunya, Senin (22/1). Riset berjudul ”Hargailah Kerja, Bukan Kekayaan” itu dirilis menjelang berlangsungnya Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 23-26 Januari.
Merujuk pada hasil riset Oxfam, jajaran warga terkaya secara global yang jumlahnya diperkirakan hanya 1 persen dari total warga dunia menguasai sekitar 82 persen dari total aset global hingga tahun lalu. Pendapatan mereka sepanjang tahun lalu melonjak dengan tingkat kenaikan terbesar sepanjang sejarah.
Kekayaan mereka naik hingga enam kali lipat lebih cepat daripada para pekerja kebanyakan sejak 2010. Jumlah kekayaan para warga terkaya dunia itu diperkirakan bertambah hingga 762 miliar dollar AS sepanjang tahun lalu.
Melalui temuan data itu, Oxfam menekankan gambar besar bahwa perekonomian global menunjukkan fenomena kesenjangan yang semakin ekstrem sekarang. Terlihat bahwa hanya ada sedikit orang yang menguasai mayoritas aset global. Sebaliknya, di sisi lain, miliaran orang di dunia harus berjuang dalam kubang kemiskinan.
Berdasarkan data, 3,7 miliar warga paling miskin secara global pendapatannya tidak naik sama sekali. Pada saat yang sama, para miliarder menikmati kenaikan aset mereka rata-rata setiap dua hari sekali sepanjang tahun lalu. Aset-aset itu mereka tanamkan dalam aneka produk keuangan seperti saham.
”Hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa perekonomian kita lebih menghargai kekayaan daripada kerja keras yang dilakukan oleh jutaan orang,” ujar Byanyima sebagaimana dikutip Thompson Reuters Foundation.
Menurut Byanyima, kaum kaya yang jumlahnya sedikit itu akan semakin kaya, sedangkan mereka yang miskin bakal semakin miskin karena terjerat kemiskinan dan upah murah. Ia menuding muslihat perpajakan sebagai penyebab utama melebarnya kesenjangan.
Atas kondisi ini, Oxfam mendesak para pemimpin dunia untuk melarang negara-negara yang menjadi surga pajak. Perlu dibuat jalan lebih baik bagi penyaluran aset-aset itu pada aneka bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan upaya-upaya penciptaan lapangan kerja bagi kaum muda secara global. Byanyima juga mengkritisi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengisi kabinetnya dengan miliarder dan menerapkan kebijakan perpajakan yang hanya mementingkan kelompok berpunya, bukan kepentingan warga AS secara umum.
Kesenjangan gender
Oxfam juga menekankan adanya kesenjangan gender. Diungkapkan, misalnya, ada fakta yang terlihat tetap bahwa kaum perempuan memperoleh bayaran lebih sedikit daripada pekerja pria. Disoroti juga bahwa perempuan sering mengalami tekanan dalam dunia kerja.
Dilihat dari jumlah miliarder secara global, terlihat bahwa hanya 1 dari 10 miliarder adalah perempuan. Merujuk data Forbes tahun 2017, misalnya, mereka yang masuk dalam daftar orang terkaya sejagat adalah laki-laki. Sebut saja Bill Gates, Warren Buffet, Jeff Bezos, Amancio Ortega, hingga Mark Zuckerberg.
”Model ekonomi yang ada sama sekali tidak berguna,” kata salah satu penyusun laporan Oxfam itu, Inigo Macias Aymar. ”Cara aset itu didistribusikan sungguh kami khawatirkan karena hanya dikuasai oleh segelintir orang.”
Untuk melawan kesenjangan, Oxfam mendesak negaranegara membatasi pendapatan petinggi perusahaan dan pemodal. Selisih pendapatan antara pekerja perempuan dan laki-laki juga perlu ditekan.