Pohon-pohon maple itu tak berdaun. Semua rontok. Pohon-pohon lainnya pun tak berdaun. Batang dan rantingrantingnya kering. Kecoklatan warnanya. Rumput di taman itu, yang terhampar, juga bernasib sama, kering. Akan tetapi, duduk di bangku kayu di taman itu sambil membayangkan hijaunya daun maple dan pohon-pohon lainnya serta rumput-rumput dan tanaman bunga bermekaran sungguh menyenangkan. Hawa dingin yang disentuhkan angin ke bagian tangan yang tak tertutup baju dan wajah seperti tak terasa kalah oleh angan-angan.
Berangan-angan, membiarkan pikiran mengembara, kadang kala memang lebih mengasyikkan, lebih menyenangkan ketimbang menghadapi kenyataan. Tempat itu dalam angan-angan sungguh sangat indah. Sangat indah karena merupakan taman sebuah kompleks istana yang dari namanya sudah memberikan keindahan: Golestan, Istana Golestan. ”Kata dalam bahasa Parsi itu, golestan atau gulistan yang dibaca kakheh golestan, berarti ’istana taman mawar’,” kata Maryam yang sore itu menemani duduk di kursi taman.
Maryam, doktor sosiologi lulusan sebuah universitas di India, menjelaskan panjang lebar sejarah Istana Golestan yang sekarang dijadikan museum. Istana itu dibangun di masa Tahmasp I dari Dinasti Safavid berkuasa 1524-1576. Dinasti Safavid berkuasa pada 1502-1736. Bangunan itu kemudian direnovasi oleh Karim Khan (berkuasa pada 1750-1779) dari Dinasti Zand. Agha Mohammad Khan (1742-1797) dari Dinasti Qajar memilih Teheran yang memiliki Istana Taman Mawar sebagai ibu kota kerajaan.
Di era Pahlevi (1925-1979)—wangsa Pahlevi diakhiri dan diruntuhkan oleh Revolusi Islam 1979 yang dipimpin Ayatollah Rohullah Khomeini—Istana Golestan digunakan untuk acara resepsi kerajaan. Di tempat itu pula Reza Khan dinobatkan sebagai raja (1925-1941), di ruangan yang disebut Takht-e Marmar. Reza Pahlavi juga dinobatkan sebagai raja di istana itu, yakni di Museum Hall.
Sejarah mengisahkan, ibu kota kerajaan berpindah-pindah. Sampai akhirnya ibu kota penguasa Iran adalah Teheran sesudah melalui perjalanan panjang seturut dinasti yang memerintah. Kota-kota yang pernah menjadi ibu kota kerajaan adalah Susa, Ctesiphon, Isfahan, Hamadan, Shiraz, Qazvin, Rey, Tabriz, Persepolis, dan Mashhad. Pada akhirnya Agha Khan memindahkan ke Teheran dengan alasan yang sangat sederhana: dekat dengan provinsi dia berasal, yakni Mazandaran, di tepi Laut Kaspia, dan suku-suku yang menjadi sekutunya ada di sekitar Teheran. Ini alasan keamanan; yang berarti juga demi kelangsungan hidup dinasti.
Sejak itu, Teheran tumbuh dan berkembang. Padahal, menurut Roger Stevens dalam bukunya tentang Iran yang diberi judul The Land of the Great Sophy, Teheran, ”di masa abad pertengahan Teheran adalah tempat tak beradab, di mana orang hidup di lubang-lubang (goa-goa).” Itu dahulu. Kini Teheran telah tumbuh menjadi kota modern dengan banyak bangunan tinggi, sistem transportasi modern, menyediakan jaringan air bersih dan listrik, taman-taman ada di mana-mana, serta pohon-pohon tumbuh subur di sepanjang jalan dan menjadi pemisah jalan (jalur hijau).
Teheran pun menjadi tujuan banyak orang untuk mencari penghidupan. Karena selain pusat pemerintahan, Teheran juga pusat perekonomian, pusat segala-galanya. Jumlah penduduk pun terus bertambah. Saat Revolusi 1979, jumlah penduduk Teheran Raya hanya sekitar empat juta jiwa. Khomeini kemudian menganjurkan agar keluarga-keluarga memiliki lebih banyak anak dan terjadi migrasi besar-besaran dari luar kota. Dan, kini jumlah penduduk kota berjumlah 12 juta jiwa. Jumlah penduduk seluruh Iran sekitar 81 jiwa.
Akibatnya, Teheran menjadi semakin sesak. Bangunan, gedung-gedung berdiri berdempet-dempetan. Jalan-jalan dipadati kendaraan. Kemacetan jalan raya menjadi bagian dari Teheran. Pengendara mobil dan kendaraan bermotor menambah kehidupan di jalan raya menjadi suntuk. Maka itu ada yang mengatakan, ”Kepadatan lalu lintas lebih buruk ketimbang kehidupan.” Transportasi kereta, metro, setiap hari hanya mampu mengangkut tiga juta orang. Sisanya, orang-orang yang bepergian, menyesaki jalan-jalan. Dan Teheran disebut-sebut merupakan salah satu kota terpolusi di dunia, selain Mexico City, Bangkok, dan Jakarta. Letak Teheran yang ada di kaki rangkaian pegunungan Alborz, membuat sirkulasi udara terbatas, kurang bebas. Begitulah Teheran sekarang.
Akan tetapi, sisa-sisa keindahan Istana Golestan masih
tampak. Dan bisa dinikmati. Golestan memang bagian dari masa lalu. Meskipun demikian, masa kini pun tidak bisa meninggalkan masa lalu. Karena masa lalu memberikan andil pada masa kini dan masa kini akan memberikan andil pula pada masa depan. Karena itu, apakah Iran di masa kini akan seindah masa lalu yang keindahannya masih tersisa di Istana Golestan?