Manuver dan Pesan Keras Erdogan di Suriah
Jelang tahun kedelapan, krisis Suriah memasuki babak baru. Ditandai pengerahan kekuatan militer negaranya ke Afrin, Suriah barat laut, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan mengirim pesan keras pada dua kekuatan, AS dan Rusia: jangan pernah bermain-main dengan isu Kurdi.
Sejak krisis Suriah meletus 2011, menyusul berkobarnya revolusi rakyat melawan rezim Presiden Bashar al-Assad di negara itu, Turki segera merancang kebijakan politik tentang lanskap masa depan Suriah. Lanskap masa depan Suriah hasil rancangan Turki ini berpijak pada dua pilar yang ingin dijadikan model bangunan Suriah mendatang.
Pertama, pembentukan lembaga oposisi Suriah yang disebut Komite Koordinasi Nasional untuk Kekuatan Perubahan Demokrasi (NCC) pimpinan Hassan Abdel Azim pada Juni 2011. Saat itu Abdel Azim langsung mendapat telepon dari duta besar Turki di Damaskus yang meminta agar Partai Uni Demokrasi (PYD) yang berbasis komunitas Kurdi didepak dari keanggotaan NCC dengan imbalan dukungan Ankara terhadap NCC.
Kedua, pertemuan partai-partai politik Kurdi di kota Qamishli, Provinsi Al-Hasakah, April 2012, membahas koordinasi internal Kurdi menghadapi perang di Suriah. Erdogan yang saat itu menjabat PM Turki, memberi peringatan keras kepada Damaskus akan bahaya pecahnya kesatuan negara dan wilayah Suriah setelah pertemuan partai-partai politik Kurdi.
Ketiga, dukungan Turki terhadap serangan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) atas kota Ras al-Ayn, Provinsi Al-Hasakah, Suriah timur laut, yang berpenduduk mayoritas Kurdi, pada 2012 untuk mencegah kota itu jatuh ke tangan PYD.
Keempat, Turki dua kali memanggil Ketua PYD Salih Muslim ke Ankara pada 2011 dan 2012 untuk dipertemukan dengan pejabat intelijen dan Kementerian Luar Negeri Turki. Ankara saat itu minta Muslim bergabung dengan oposisi Suriah melawan Assad. Muslim menyatakan siap memenuhi permintaan Turki dengan imbalan Ankara mendukung terciptanya wilayah otonomi khusus Kurdi di Suriah. Ankara menolak keras permintaan itu.
Curigai AS-Kurdi
Itulah manuver Turki mulai 2011 hingga 2013 guna mendepak kaum Kurdi dari peta politik Suriah. Turki cukup panik ketika AS-Kurdi berkoalisi memerangi milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dimulai dari Kobani, awal 2015.
Milisi Kurdi, Unit Pelindung Rakyat (YPG), sayap militer PYD, memanfaatkan koalisinya dengan AS untuk terus mengembangkan pengaruh dan cengkeramannya di Suriah timur laut dan utara. Bahkan, YPG dengan payung Pasukan Demokratik Suriah (SDF) kini menguasai sekitar 30 persen wilayah Suriah yang dikenal kaya minyak, gas, dan air, yakni wilayah antara Sungai Eufrat dan Tigris.
Koalisi AS-Kurdi memicu perbedaan pendapat antara AS dan Turki dan makin mendekatkan hubungan Rusia-Turki. Namun, Turki masih bisa menahan diri karena AS selalu berdalih koalisinya dengan YPG hanya untuk membasmi NIIS. Karena itu, Turki masih bersedia bekerja sama secara militer dan intelijen dengan AS dalam operasi Perisai Eufrat untuk mengusir NIIS dari kota Jarablus dan area tepi barat Sungai Eufrat, Agustus 2016.
Turki juga masih bersedia bekerja sama dengan AS dalam perang mengusir NIIS dari kota Raqqa, ibu kota NIIS di Suriah. Turki pun tidak mempermasalahkan AS membentuk dan membina milisi SDF untuk membebaskan Raqqa dari NIIS. Padahal, Turki mengetahui tulang punggung SDF adalah YPG yang ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Ankara.
Turki saat itu sebenarnya sudah mengusulkan kepada AS untuk berpartisipasi penuh membantu AS merebut Raqqa. AS menolak usulan itu dan memilih bermitra dengan SDF. AS hanya menerima kerja sama intelijen dengan Turki.
Setelah Raqqa dibebaskan dari NIIS, Turki meminta AS membubarkan SDF. Ankara menyampaikan kepada AS bahwa mereka hanya menerima keberadaan SDF dalam konteks perang melawan NIIS. Namun, setelah pembebasan Raqqa dari NIIS pada pertengahan Oktober 2017, AS bukannya membubarkan SDF, melainkan malah memperkuat SDF dengan persenjataan modern. AS berdalih mereka akan terus memperkuat SDF untuk mencegah munculnya kembali NIIS di Suriah.
Turki menolak keras dalih AS itu. Ankara bahkan menyampaikan bukti-bukti kuat kepada AS tentang adanya koalisi SDF dan PKK yang ditetapkan sebagai organisasi teroris di Turki. Turki juga menyampaikan bukti kuat adanya anggota PKK yang menyusup ke SDF.
Namun, AS tidak menghiraukan usulan dan bukti kuat dari Turki itu. Turki pun sangat kecewa dengan sikap AS yang terus memperkuat SDF. Ditambah, hubungan AS-Turki kian memburuk di era Presiden Donald Trump akibat banyak perbedaan pandangan terkait isu di Timur Tengah.
Kekecewaan Turki pada AS memuncak pada pertengahan Januari lalu ketika AS mengumumkan pembentukan 30.000 anggota pasukan berintikan milisi Kurdi untuk menjaga perbatasan mulai Sungai Eufrat hingga perbatasan Suriah-Irak. Turki menganggap pengumuman AS itu secara tak langsung merupakan pembentukan negara Kurdi di Suriah timur laut.
Turki pun kehilangan kesabaran. Akhirnya, Ankara melancarkan operasi militer dengan sandi Ranting Zaitun di Afrin sejak Sabtu (20/1). Erdogan mengancam memperluas operasi militer hingga Manbij di barat Sungai Eufrat. Bagi Turki, operasi militer di Afrin secara politik merupakan pesan kepada AS dan Rusia bahwa Ankara menolak keras wacana solusi penerapan sistem federal di Suriah dengan memberi wilayah otonomi kaum Kurdi.