Ferdowsi
Tavanaa Bovad Har Keh Danaa Bovad
Ferdowsi begitu dihormati di Iran. Patungnya berdiri tegak di Ferdowsi Square, juga mengawasi seluruh kota Teheran, kompleks Menara Milad, yang dengan ketinggian 435 meter dari dasar hingga ujung atas antenanya disebut sebagai menara keenam tertinggi di dunia. Di dalam menara dipajang patung lilinnya.
Boleh dikata, tak ada orang Iran yang tidak mengenal Ferdowsi atau Firdusi atau Firdousi. Ia adalah salah satu tokoh penyair paling kondang sekaligus paling berpengaruh dalam kesusastraan Persia. Hakim-Abu-Al Qasim Ferdowsi, begitu nama lengkap penyair kelahiran kampung Regban, dekat daerah Tus, Tahiran pada tahun 935 ini, juga dikenal dengan nama Abu al-Qasem Man?ur. Tus adalah sebuah kota kuno di Provinsi Razavi Khorasan, sekitar 909 kilometer sebelah timur Teheran.
Kota kuno Tus, yang sering disebut Tous, Toos, atau Tus, pernah dikuasai oleh orang-orang Yunani kuno di bawah pimpinan Aleksander Agung pada tahun 330 SM. Orang-orang Yunani menyebut Tus, Susia atau Tusa. Tus kemudian direbut oleh Khalifah Abd al-Malik dari Kekhalifahan Umayyad dan dikuasai hingga tahun 747. Dari tangan Umayyad, Tus jatuh ke tangan kekuasaan Dinasti Abbasiah. Di kota inilah Khalifah Abbasiah, Harun al-Rashid, meninggal dalam perjalanan ke Khorasan.
Ferdowsi adalah salah satu putra Tus. Hingga kini, bangsa Iran sangat menghormati Ferdowsi. Patung Ferdowsi—dengan tangan kiri memegang buku tebal—yang berdiri tegak dan kokoh di tengah Ferdowsi Square adalah salah satu bentuk penghormatan terhadapnya. Dengan didirikan di tempat itu, orang akan selalu ingat kepadanya. Mausoleum Ferdowsi dibangun di kota kelahirannya pada tahun 1933, untuk memperingati 1.000 tahun kelahirannya di zaman Reza Shah Pahlavi (1925-1941).
Karya terbesar Ferdowsi adalah Shah-nameh atau Shahnameh (Kitab Raja-raja). Dalam Shahnameh ini yang merupakan kronika para penguasa (para shah) dan pejuang kerajaan Persia Raya, Ferdowsi menggabungkan mitos dan sejarah. Shahnameh yang terdiri atas enam puluh ribu bait ini merupakan kisah panjang para shah Persia dalam menegakkan kebenaran melawan kekuatan jahat. Kisah ini memuat cerita-cerita tentang kematian, tentang kekuasaan para raja, tentang ilmu pengetahuan, tentang hukum, dan juga tentang rasa. Rasa cinta, dendam, tipu daya, dan ilmu hitam.
Menurut kisah, Ferdowsi menyusun karya ini sekitar 30 tahun, di zaman pemerintahan Dinasti Samanid. Ketika itu, penguasa Samanid menjanjikan akan menganugerahkan penghargaan yang sangat besar apabila karya itu selesai dibuat. Ia bekerja keras untuk itu. Akan tetapi, ketika karya itu selesai disusun, sekitar tahun 1010, terjadilah pergantian pemerintahan. Penguasa baru, Mahmoud dari Dinasti Ghaznavid, Turki, kurang tertarik pada karya Ferdowsi itu. Akan tetapi, Ferdowsi tetap diberi uang 20.000 dirham. Ferdowsi merasa terhina dengan pemberian itu; dan akhirnya ia memilih melarikan diri dari kerajaan.
Setelah menyelesaikan karyanya, Ferdowsi menulis:
Aku telah mencapai akhir dari sejarah besar ini
Dan seluruh tanah akan dipenuhi dengan pembicaraan tentang diriku
Aku tidak akan mati, benih-benih yang telah ditabur akan menyelamatkanku
Nama dan reputasiku dari kuburan
Dan orang-orang yang memiliki akal dan kebijaksanaan akan mengumumkannya
Ketika aku telah pergi, pujian dan ketenaranku.
Buku ini, Shahnameh, selama berabad-abad memberikan semangat. Karena buku ini juga berkisah tentang bagaimana bangsa Persia bertahan dan berjuang untuk hidup ketika ditaklukkan oleh Arab, lalu orang-orang dari Asia Tengah. Syair perjuangan dari legenda dan sejarah Persia karya Ferdowsi ini juga menjadi tanda serta sarana perkembangan kesadaran nasional. Dari Sahnameh, orang tahu kisah bangsa Persia dari generasi ke generasi, dari raja ke raja, dari pemberontakan ke pemberontakan serta pengkhianatan. Semua digambarkan oleh Ferdowsi. Penyair Persia paling berpengaruh itu menulis tentang kekejaman, juga tentang keindahan di halaman yang sama. ”Ketika musim semi mulai awal baru, yang membuat dataran laksana hamparan sutra, orang-orang Turki bersiap untuk berperang,” begitu tulis Ferdowsi.
♦♦♦
Orang masih mengingat yang pernah ditulis Ferdowsi, Tavanaa Bovad Har Keh Danaa Bovad, yang lebih kurang berarti orang yang memiliki kebijaksanaan adalah sangat kuat. Apa yang ditulis Ferdowsi tidak hanya berlaku bagi rakyat Iran, tetapi juga berlaku umum. Sebab, kebijaksanaan adalah hal utama: oleh karena itu perolehlah kebijaksanaan.
Kebijaksanaan adalah kekuatan akal budi. Dalam praktik sehari-hari, kekuatan akal budi sering kali atau bahkan berkali-kali dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan.
Belakangan ini dunia politik semakin jauh dari kebijaksanaan, dari akal budi. Tidak bisa dimungkiri bahwa demokrasi di negeri ini cuma mengenal bahasa ”politik dan ekonomi pragmatik”. Bahasa ”politik pragmatik” selalu bertanya, ”siapa yang menang?” Bahasa ekonomi pragmatik selalu bertanya, ”di mana untungnya?” Dengan kata lain, demokrasi kita saat ini lebih ditentukan oleh kekuatan dana.
Praktik lain dari politik yang tidak melandaskan pada akal budi adalah politisasi identitas. Konflik yang muncul sebagai dampak politisasi identitas itu jauh lebih berbahaya ketimbang konflik-konflik politik pragmatis. Identitas keagamaan dan etnisitas merupakan jenis yang dampak politisasinya sangat fatal. Setiap gerakan yang menjauh dari demokrasi sipil dan mengarah kepada demokrasi ethnic nationalism, nasionalisme SARA, menurut istilah Snyder (1997), bakal merongrong perdamaian.
Apakah di zaman Ferdowsi semua itu juga sudah dipraktikkan. Yang pasti, patung Ferdowsi tetap berdiri tegak di Teheran dan di sejumlah kota lain di Iran—tidak dirobohkan—sebagai tanda untuk menghormatinya. Menghormati orang bijak; orang yang berakal budi.