Perdana Menteri Inggris Theresa May, yang pada Jumat (2/2) mengakhiri kunjungan di China, mengatakan bahwa Inggris akan menerapkan aturan berbeda bagi warga UE yang datang setelah Brexit. ”Tentu ada perbedaan antara mereka yang datang sebelum kami keluar (Uni Eropa) dan mereka yang akan datang saat mereka tahu bahwa Inggris meninggalkan Uni Eropa,” kata May.
Pernyataan May terkait dengan aturan UE bahwa selama masa transisi yang berlangsung dari Maret 2019 sampai Desember 2020, Inggris akan tetap diperlakukan sebagai anggota UE, tetapi tak memiliki hak suara. Dalam periode transisi itu Inggris harus tunduk pada aturan UE.
Aturan UE mewajibkan kebebasan bagi warganya untuk berdiam dan bekerja di semua negara anggota UE, termasuk Inggris. Klausul tentang nasib 4 juta warga UE yang saat ini bermukim di Inggris dan nasib warga Inggris di UE pasca-Brexit sudah disepakati dalam perundingan Brexit tahap pertama, Desember.
Namun, pertentangan muncul ketika aturan itu diterapkan dalam hak warga UE yang masuk ke Inggris pada masa transisi saat Inggris sudah resmi keluar dari UE. Bagi UE, selama Inggris tunduk pada aturan UE, aturan yang berlaku tetap sama.
”Hak warga UE selama masa transisi tidak bisa dinegosiasikan. Kami tidak akan menerima dua macam hak bagi warga UE,” kata Koordinator Brexit di Parlemen Eropa Guy Verhofstadt.
Sikap ini tidak bisa diterima oleh Inggris. Menteri Urusan Brexit Robin Walker menyatakan Inggris menolak ketentuan itu.
”Selama periode implementasi (masa transisi) warga UE bisa berkunjung, tinggal, dan bekerja di Inggris seperti yang berlangsung saat ini. Kesepakatan tentang warga UE yang dicapai, Desember lalu, memberikan kepastian mengenai hak warga UE ke depan. Namun, kesepakatan itu tidak mencakup mereka yang datang setelah kami keluar dari UE,” kata Walker kepada parlemen Inggris.
Tekanan kepada May
Para menteri dan anggota parlemen pro Brexit terus menekan PM May agar bersikap lebih tegas kepada UE. May terpojok karena sebagian menteri lainnya menginginkan dirinya bersikap lunak kepada UE, mengingat pentingnya mencapai kesepakatan dagang dengan UE pasca-Brexit.
Perpecahan yang semakin dalam di kabinet May menyebabkan sejumlah anggota parlemen dari Partai Konservatif yang pro Brexit menyampaikan ”nota tidak percaya” atas kepemimpinan May.
Inggris sudah beberapa kali menyatakan tidak ingin berada di pasar tunggal Eropa maupun berada dalam sistem duane bersama. Namun, sampai saat ini UE masih menunggu bentuk kerja sama seperti apa yang sebetulnya diinginkan Inggris.
UE sudah menegaskan, selama periode transisi, Inggris tidak diperbolehkan melakukan kesepakatan dagang dengan pihak ketiga. Alasannya, pada masa transisi Inggris masih memiliki akses ke pasar tunggal Eropa.
Menteri Perdagangan Inggris Liam Fox, Jumat, menyebutkan, akan sulit bagi Inggris untuk tetap bertahan di dalam duane bersama Eropa pasca-Brexit.
”Sulit membayangkan posisi di dalam duane bersama akan sepadan dengan memiliki kebijakan perdagangan yang bebas. Karena dengan demikian, kami akan bergantung pada kebijakan perdagangan UE dan mengikuti di belakang,” kata Fox kepada TV Bloomberg di China.
Menurut Fox, salah satu alasan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah mengambil alih kontrol. Dan, hal itu mustahil terjadi dalam kebijakan tarif bersama.
Kepada BBC, May kemarin menolak memerinci apa sebetulnya yang diinginkan Inggris dari negosiasi Brexit. ”Kami masih berada di awal negosiasi. Di akhir negosiasi kesepakatan itu akan dipresentasikan kepada parlemen, dan parlemen akan melakukan voting terhadap kesepakatan itu,” kata May yang meyakini perundingan soal masa transisi akan selesai dalam tujuh pekan. (AP/AFP/REUTERS/MYR)