Ketika Negara-negara Merasa Kian Terancam
Selama ini, boleh jadi, hal yang muncul dalam bayangan manakala orang membicarakan senjata nuklir adalah bom nuklirnya semata. Bayangan ini tidak keliru jika yang diingat adalah bom ”Little Boy” yang dijatuhkan oleh pesawat Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, tahun 1945.
Semenjak itu, disadari, jika hanya mengandalkan pesawat terbang, ada risiko senjata nuklir tak bisa mencapai hasil efektif. Di tengah kemajuan teknologi antipesawat, bisa-bisa pesawat pengebom tak sampai ke sasaran karena keburu ditembak jatuh. Maka, negara-negara nuklir mengembangkan wahana pelontaran bom nuklir yang dikenal sebagai peluru kendali (rudal) balistik.
Dalam perkembangan sistem persenjataan nuklir, negara pemilik, khususnya AS dan Rusia, menumpukan strategi pada apa yang dikenal sebagai triad, yakni sistem pangkal darat, pangkal udara, dan pangkal laut. Yang terakhir ini dianut oleh Inggris. (Lihat, misalnya, Laurence Martin, The Changing Face of Nuclear Warfare—Emerging Technology, Strategy, Weaponry)
Hal tersebut ditempuh karena sistem pangkal darat rentan terkena serangan lawan walaupun sarang rudal nuklir (silo) telah dibuat demikian kuat. Sebagai alternatif pengamanan sistem pangkal darat, rudal nuklir dibuat bergerak (mobile), tidak statis di satu titik.
Namun, dengan berbagai variasi tersebut, satu hal yang nyata adalah sistem senjata nuklir bertumpu pada wahana pelontaran yang kini dikenal sebagai rudal balistik. Disebut rudal balistik karena lintasannya mengikuti parabola yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi.
Rudal balistik menjadi semacam momok karena selain nuklir, rudal itu juga bisa dipasangi hulu ledak senjata kimia atau biologi meskipun dua jenis senjata ini sudah dilarang. Bahkan, rudal balistik sebenarnya oleh negara-negara besar, terutama AS, sudah dibatasi melalui aturan Missile Technology Control Regime (MTCR) yang mulai ditegakkan tahun 1987. Menurut rezim ini, satu negara tidak boleh mengembangkan teknologi rudal yang memiliki jelajah lebih dari 300 kilometer. Meski ada aturan ini, kita masih menyaksikan negara Korea Utara terus mengembangkan rudal balistik jarak jauh, atau antarbenua, dengan jangkauan tidak kurang dari 7.000 km.
Menghadapi ancaman serangan rudal balistik yang dirasakan makin nyata, pihak yang terancam menggiatkan penggelaran sistem antirudal balistik. Untuk kasus rudal Korut, negara yang merasa terancam adalah Jepang, Korea Selatan, dan AS. Bedanya, AS mempunyai pengalaman menghadapi ancaman serupa sehingga tidak saja telah siap, tetapi juga memiliki teknologi yang bisa dijual kepada mitra dekatnya.
Banyak dikembangkan
Berdasarkan pengalaman Perang Dingin, pemikiran untuk menangkal serangan rudal balistik sudah banyak dikembangkan. Sistem mencakup mulai pertahanan mandala atau teater, sistem penyergapan saat rudal masih berada tinggi di angkasa, hingga yang paling visioner seperti diproklamasikan Presiden Ronald Reagan tahun 1983 yang dikenal sebagai Strategi Perang Bintang. Disebut Perang Bintang karena banyak elemen sistem berpangkal di angkasa, menggunakan senjata laser untuk menembak rudal lawan.
Guna menghadapi rudal seperti milik Korut, AS mempunyai pengalaman di Perang Teluk 1991. Saat itu, sistem Patriot digelar untuk menghadapi rudal balistik yang dimodifikasi dari rudal Scud buatan Uni Soviet.
Untuk ancaman di Pasifik, Jepang membutuhkan sistem antirudal balistik, dan pemerintah Presiden Donald Trump telah menyetujui penjualan sistem senilai 133 juta dollar AS (CNN, 10 Januari 2018). Jepang wajar sangat khawatir karena sejumlah rudal yang diuji Korut jatuh di perairannya.
Sistem yang dibeli Jepang adalah rudal antibalistik SM (Standard Missile)-3 Blok IIA yang bisa dipasang di kapal perusak kelas Aegis atau di darat. Termasuk dalam paket pembelian itu adalah empat selongsong (canister) rudal dan layanan teknis, pemasangan, serta dukungan logistik.
Rencana penjualan sistem antirudal balistik ini menuai protes dari Rusia, yang berpandangan, kesepakatan AS-Jepang itu melanggar Traktat Penghapusan Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF Treaty) tahun 1987. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menuduh kesepakatan itu sebagai bagian dari rencana besar Washington membangun ”sistem antirudal global”. Ia menyinggung Traktat INF karena sistem yang dibuat AS bisa meluncurkan rudal tipe apa pun, termasuk yang dilarang Traktat INF. (Reuters, 10 Januari 2018)
Hal itu dibantah oleh AS. Washington juga menambahkan bahwa penjualan antirudal balistik yang dibuat Raytheon Co dan BAe Systems itu merupakan kelanjutan komitmen Trump untuk memberikan kemampuan pertahanan tambahan pada sekutunya yang terancam perilaku provokatif Korut.
Untuk Jepang, AS menjual sistem pertahanan antirudal balistik Aegis, sedangkan untuk Korsel, sistem yang banyak dibicarakan adalah Terminal High Altitude Area Defence (THAAD). Sistem ini juga bertugas melindungi satu wilayah, termasuk kota atau kompleks militer, dari serangan rudal balistik. Komponen utamanya meliputi radar yang melacak rudal penyerang, lalu memerintahkan peluncuran rudal penyergap untuk menghancurkannya saat masih berada di atmosfer atau ruang angkasa.
Dua baterai THAAD sudah digelar di Korsel setelah diangkut dengan pesawat C-17 Globemaster ke Pangkalan Udara Osan, Maret 2017. Bukan hanya Korut yang bereaksi atas pemasangan THAAD di Korsel, melainkan juga China dan Rusia. Alasannya, sistem buatan Lockheed Martin ini memiliki radar pencari yang sangat kuat. Setiap baterai sistem antirudal canggih ini juga bisa menyergap 48 rudal yang datang menyerang. Produsen mengklaim THAAD memiliki rekor keberhasilan 100 persen.
Sistem THAAD terdiri dari enam peluncur yang dipasang di atas truk. Sistem dilengkapi dengan perlengkapan kontrol penembakan dan komunikasi. Lockheed Martin, kontraktor pertahanan terkemuka, mengembangkan THAAD sejak 2005.
Korsel menilai, THAAD memperkuat kemampuan antirudalnya, yang sebelumnya bertumpu pada sistem Patriot. Kebutuhan sistem yang lebih canggih dirasakan mengingat Korut mengembangkan rudal nuklir lebih bervariasi, termasuk yang diluncurkan dari peluncur bergerak dan kapal selam.
Selain dukungan, penggelaran THAAD juga ada pengritiknya. Mereka menyebut sistem ini tidak ampuh untuk menangkal ancaman lebih mendesak dari Utara, seperti rudal jarak pendek, roket artileri yang meluncur pada ketinggian lebih rendah.
Antirudal aktual lagi
Dengan maraknya uji nuklir dan peluncuran rudal Korut, Korsel dan Jepang harus memiliki sistem penangkal yang kredibel. Sejauh ini, THAAD dan Aegis menjadi andalan. Namun, menyergap rudal yang meluncur dengan kecepatan tinggi di angkasa benar-benar menuntut teknologi tinggi.
Analis mengeluhkan, AS lebih banyak menghamburkan dana untuk perang di Timur Tengah dan Afghanistan, tetapi kurang mendanai riset sistem antirudal, yang lebih fundamental untuk menjaga kelangsungan hidup negara. Untuk sistem pertahanan rudal, Washington membelanjakan 123 miliar dollar AS sejak tahun 2002, sementara untuk perang di Irak, Afghanistan, Pakistan, serta Suriah, dana yang dihabiskan mencapai 5 triliun dollar AS. Padahal, jika AS menghadapi ancaman serangan rudal, perang-perang tersebut tidak ada kontribusinya. (Barbara Boland, dalam The Hill.com)
Pandangan itu, di tengah terus berlangsungnya uji rudal balistik oleh negara seperti Korut, diyakini membuat litbang dan bisnis sistem antirudal balistik kian tumbuh. Tahun lalu, Kongres AS mengucurkan jutaan dollar AS bagi pengembangan sistem penyergap rudal yang dilakukan Boeing, Orbital ATK, Lockheed Martin, dan Raytheon.
Itulah wujud dialektika dalam dunia kemiliteran, sebagaimana pada bidang-bidang lain.