Ketika AK-47 Lebih Murah daripada Ponsel
Di jalan sempit dekat perbatasan Afghanistan-Pakistan berdiri kedai-kedai yang memajang hasil kerajinan penduduk Desa Darra Adam Khel. Tak seperti di tempat wisata lain, barang pajangan di desa dekat Peshawar, Pakistan, itu berupa aneka pistol, senapan serbu, hingga senjata antipesawat udara.
Tidak ada yang ingat kapan pastinya pasar senjata mulai beroperasi di sana. Penduduk desa hanya ingat, jumlah perajin dan pedagang senjata melonjak berkali lipat sejak Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Invasi ini diikuti gelombang pergerakan warga Afghanistan ke sejumlah tempat di Pakistan untuk mencari senjata.
Darra Adam Khel, 93 kilometer dari pos perbatasan terdekat, paling banyak didatangi orang-orang Afghanistan. ”Orang selalu membutuhkan senjata,” kata Azmatullah Orakzai, pedagang senjata di sana.
Orang-orang di sekitar perbatasan Afghanistan-Pakistan memang lekat dengan senjata api. Sebelum aturan senjata api diperketat oleh Pemerintah Pakistan sejak beberapa tahun lalu, orang-orang membawa senapan seperti layaknya rantang makanan.
Sejak lama, orang-orang terbiasa menembakkan senjata hanya karena ingin bersenang-senang. Bahkan, pesta pernikahan pasti akan dilengkapi suara letusan senapan dan pistol para undangan, dengan laras yang tentunya diarahkan ke atas.
Tradisi yang sudah lama berlangsung itu menjadi salah satu penopang bisnis senjata di Darra Adam Khel. ”Sekarang bisnis sulit. Ada banyak razia,” kata pedagang lain, Khitab Gul.
Razia menimpa, antara lain, dua penduduk desa tersebut pada 30 Januari 2018. Keduanya ditangkap karena polisi menemukan beberapa senapan dan pistol di mobil mereka. Kini, keduanya meringkuk di tahanan sembari menunggu proses hukum.
Gul mengatakan, pemerintah menyatakan bahwa pengetatan itu bertujuan mencegah perdagangan senjata ke kelompok militan. Bagi banyak perajin dan pedagang senjata di Darra Adam Khel, alasan itu hanya dicari-cari. ”Bagaimana kami bisa hidup kalau bisnis dilarang?” ucapnya.
Penduduk Darra Adam Khel memang menjadikan bisnis senjata sebagai sumber pendapatan utama. Jika tidak menjadi perajin, mereka menjadi pedagang senjata.
Para pedagang di sana berani memberi garansi hingga setahun untuk setiap senjata yang dibeli di desa tersebut. ”Buatan kami sama baiknya dengan buatan pabrik,” kata Orakzai kepada pewarta perusahaan media AS, CNBC.
Tawaran lain dari pedagang di sana tentu saja selisih harga. Sepucuk AK-47 buatan pabrik dijual paling murah 1.800 dollar AS (Rp 24,2 juta). Adapun AK-47 buatan Darra Adam Khel dijual mulai dari 70 dollar AS (Rp 942.000). Harga senapan lebih rendah daripada harga ponsel pintar.
Tak hanya senjata modern yang bisa ditiru atau diperbaiki, senjata dari abad ke-19 pun bisa dibuat kembali berfungsi oleh para perajin. Mereka hanya perlu untuk melihat senjata asli, lalu segera bisa membuat tiruannya.
Filipina
Pasar senjata tidak hanya ditemukan di Pakistan. Aneka jenis senjata hingga peledak juga bisa dibeli di Filipina.
Peneliti terorisme, Taufik Andrie, mengatakan, Filipina adalah salah satu simpul perdagangan senjata Asia Tenggara. Anggota sejumlah kelompok bersenjata Indonesia termasuk pembeli di pasar itu.
Kemudahan mendapat senjata menjadi salah satu penyebab konflik di negara itu lebih panjang dan brutal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Banyak kelompok dapat mempersenjatai diri dengan pistol hingga roket yang dibeli baik secara legal maupun ilegal.
Hal itu, antara lain, terlihat dalam pertempuran di kota Marawi, tahun lalu. Tentara Filipina membutuhkan lebih dari lima bulan untuk memadamkan perlawanan kelompok Maute yang berkolaborasi dengan Isnilon Hapilon. Maute tidak punya jet tempur dan meriam artileri, tetapi mereka punya aneka jenis senjata, mulai dari pistol sampai bazoka.
”Salah satu kunci radikalisme bisa diredam di Indonesia adalah kontrol senjata di sini sangat ketat, jauh lebih baik ketimbang Filipina,” kata Taufik.
Meski disebut pasar gelap, produk yang dipasarkan di Filipina bukan kelas usaha kecil menengah seperti di Darra Adam Khel. Filipina memang punya beberapa produsen senjata, dengan produk yang diekspor ke banyak negara.
Namun, sebagian produk itu diduga dipasarkan di dalam negeri. Para pengguna senjata profesional dengan mudah mengenali mana senapan serbu M-16 buatan AS dan mana buatan Filipina.
Para produsen senjata Filipina membantah ikut andil menciptakan kengerian di banyak tempat. Mereka malah menyebut produk mereka dibuat untuk menghadirkan rasa aman.
Tentu tidak hanya senapan dan pistol yang bisa dibeli di sana. Peluru hingga peledak juga bisa diperoleh. Bahkan, sejumlah warga negara Indonesia ditangkap karena menyelundupkan senjata di Filipina. (AFP/RAZ)