Kebijakan Nuklir AS Picu Kecemasan
Pemerintah China menyampaikan hal itu, Minggu (4/2), menanggapi rilis Ulasan Postur Nuklir dari Kementerian Pertahanan AS yang dikeluarkan pada Jumat lalu. Pentagon memaparkan garis besar ambisi nuklir
AS di bawah pemerintahan Donald Trump dan bagaimana mereka mengawasi ancaman nuklir dalam beberapa dekade ke
Kendati ulasan lebih banyak difokuskan ke Rusia, beberapa bagian Ulasan Postur Nuklir AS itu menyebut kekuatan China. AS, antara lain, menyinggung tentang kurangnya transparansi pembangunan nuklir di China. Disebutkan dalam laporan itu, China telah menambah kemampuan tipe-tipe baru nuklir, mulai dari rudal balistik antarbenua bergerak sampai rudal balistik kapal selam dengan sedikit atau tanpa keterbukaan tentang tujuan (pengembangan nuklir) itu.
Juru bicara Kementerian Pertahanan China, Ren Guoqiang, menyatakan, negaranya selalu menjaga kekuatan nuklirnya pada tingkat minimum untuk kepentingan keamanan nasional. China berjanji tidak akan pernah memulai menggunakan senjata nuklir dalam kondisi apa pun.
Ren menambahkan, justru AS saat ini gudang senjata nuklir terbesar di dunia. ”Kami berharap AS meninggalkan mental Perang Dingin dan dengan sungguh-sungguh memikul tanggung jawab khusus untuk melucuti nuklirnya sendiri,” ucap Ren.
Sejak memerintah tahun 2012, Presiden Xi Jinping mendorong kekuatan China untuk mengembangkan militer ”kelas dunia” hingga tahun 2015 sebagaimana dikatakannya pada Oktober lalu. Negara-negara tetangga China dengan cemas mengamati bagaimana Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) meningkatkan persenjataan canggihnya dan bagaimana mereka menciptakan pasukan tempur profesional.
Peningkatan senjata nuklir kurang mendapat perhatian karena ukurannya yang kecil, menurut Institut Riset Internasional Stockholm (SIPRI). China hanya mempunyai 270 hulu ledak, jauh lebih sedikit daripada AS yang memiliki 6.800 buah.
Kementerian Pertahanan China menyatakan, perdamaian dan pembangunan dunia merupakan ”tren yang tidak bisa diubah”. Beijing meminta Washington untuk bekerja sama menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di wilayah dan dunia.
Pergeseran prioritas
Doktrin nuklir Trump sangat berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama. Trump menempatkan militer China dan Rusia sebagai ”kekuatan revisionis” dalam strategi utama pertahanan nasional. Rusia menjadi fokus AS seiring dengan pergeseran prioritas pasca-penumpasan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ke persoalan kompetisi antar-kekuatan besar dengan Moskwa dan Beijing.
Dalam pernyataannya, Jumat, Trump mengatakan, strategi AS dimaksudkan untuk membuat sedikit mungkin penggunaan senjata nuklir. Dalam laporan disebutkan, AS telah mengikuti kesepakatan pengawasan senjata, termasuk Traktat Pengurangan Senjata Strategis (START) baru yang membatasi AS dan Rusia dalam memiliki kepala hulu ledak strategis dan peluncur.
Berdasarkan kesepakatan itu, kedua negara maksimal hanya boleh mempunyai 1.550 hulu ledak strategis dan 700 peluncur. Pemerintah AS mengatakan, mereka sudah memenuhi persyaratan sejak Agustus dan mengharapkan agar Rusia mematuhi batas waktu pada Senin ini.
Pentagon menyatakan, militer AS ingin mengubah persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata atom rendah baru guna merespons tindakan Rusia beberapa tahun terakhir.
Menanggapi pernyataan AS, Moskwa menuduh AS sebagai negara anti-Rusia dan ”suka perang”. ”Suka perang dan bawaan anti-Rusia jelas dalam dokumen itu,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, Sabtu. Moskwa menyatakan dokumen tersebut menimbulkan ketakutan dan ”sangat mengecewakan”.
Persaingan senjata nuklir
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan, kebijakan baru nuklir AS memperlihatkan bahwa ”peningkatan persaingan baru senjata nuklir sudah berlangsung”. Ia menambahkan, Eropa—seperti pada masa Perang Dingin—amat rentan.
”Itu sebabnya, mengapa kita perlu memulai inisiatif baru di Eropa untuk kontrol senjata dan perlucutan,” ujar Gabriel dalam pernyataan tertulis. Ia menyebutkan, pengembangan senjata baru bakal mengirim pesan yang salah dan berisiko memicu munculnya persaingan senjata.
Suara lebih keras dalam menentang kebijakan nuklir AS juga datang dari Iran. Presiden Hassan Rouhani menuduh AS sengaja mengancam Rusia, padahal sebenarnya ingin mengembangkan kemampuan nuklirnya sendiri. Dengan begitu, kata Rouhanni, AS ingin menghalangi juga negara-negara lain untuk mengikuti pengembangan nuklir AS.
”AS tanpa malu-malu mengancam Rusia dengan senjata nuklir baru. Orang yang sama yang seharusnya percaya bahwa menggunakan senjata pembunuh massal adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, saat ini ia berbicara tentang senjata baru untuk mengancam atau melawan rival-rivalnya,” ucap Rouhani dalam pidato di televisi, Minggu.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif melalui akun Twitternya mengingatkan, kebijakan baru AS, sebagaimana yang disebut dalam dokumen, berisiko membawa manusia ”makin dekat dengan pemusnahan”.
”Sikap keras kepala Presiden Trump menghentikan kesepakatan nuklir Iran dan negara-negara adikuasa dunia disuarakan lewat kelalaian yang sama sembrononya,” tulis Zarif dalam akun Twitternya, Minggu. Dia menambahkan, kebijakan baru AS bertentangan dengan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).
Sebelum menjadi presiden, Trump sudah menggugat kesepakatan nuklir Iran yang disebutnya sebagai kekalahan AS dan kesepakatan paling buruk yang pernah terjadi. Kesepakatan tersebut sampai kini masih berlaku meski Trump dengan berat hati memberikan tanda tangan perpanjangan sebagai syarat yang harus dilakukan presiden.
Trump secara sepihak mengatakan, dia akan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran yang selama ini sudah dicabut setelah penandatanganan perjanjian nuklir tahun 2015. Negara-negara Uni Eropa yang terlibat dalam proses perjanjian selama bertahun-tahun itu mengalami tekanan yang tak mudah.
Perjanjian nuklir Iran itu mengikat, kecuali jika Iran atau pihak lain melakukan pelanggaran. Namun, di sisi lain, sekutu AS harus berbuat sesuatu untuk ”memuaskan” Trump.
Di luar Uni Eropa, ikut pula dalam proses lahirnya kesepakatan nuklir Iran, yaitu Rusia dan China. Dengan kesepakatan itu, sanksi ekonomi yang pernah diberlakukan di Iran harus dicabut dan Iran diwajibkan untuk menghentikan program pengembangan senjata nuklirnya.
Saham terpengaruh
Munculnya isu nuklir diyakini memengaruhi harga saham, terutama di AS. Harga saham yang selama setahun ini relatif tenang, Jumat lalu, sedikit terguncang.
The Dow Jones dan Standard & Poor mencapai rekor meluncur 500 atau turun sekitar 4 persen. Ini penurunan tertinggi sejak Januari 2016. Beberapa penjualan saham yang terkait dengan nama besar, seperti Apple dan Exxon Mobil, menambah kemerosotan tersebut.
Pasar saham khawatir dengan dampak aksi jual yang terus berlanjut terhadap obligasi. Sejumlah investor yakin, pasar akan kembali naik. Hal ini disebabkan pasar global dan pertumbuhan ekonomi masih cukup mantap. (AFP/AP/REUTERS/RET)