Kunjungan Erdogan merupakan lawatan pertama Presiden Turki ke Vatikan untuk menemui Paus dalam 59 tahun. Lawatan itu juga sebagai balasan atas kunjungan Paus ke Turki pada 2014. Dalam kunjungan kemarin, Paus dan Erdogan menggelar pertemuan tertutup sekitar 50 menit di Istana Kepausan.
Dalam pernyataan yang dirilis Vatikan, pembicaraan di antara kedua pemimpin antara lain meliputi ”status Jerusalem, dengan menekankan perlunya promosi perdamaian dan stabilitas di kawasan (Timur Tengah) melalui dialog dan negosiasi dengan menghormati hak asasi manusia dan hukum internasional”.
Vatikan mendukung solusi dua negara dalam konflik Palestina- Israel. Vatikan dan Ankara sepakat bahwa status Jerusalem—tempat situs-situs suci bagi Muslim, Yahudi, dan Kristen—sebagai bagian dari proses perdamaian.
Palestina menginginkan Jerusalem timur sebagai ibu kota negara yang mereka perjuangkan. Israel mendeklarasikan seluruh Jerusalem sebagai ibu kota yang ”tak terbelah dan abadi”.
Desember lalu, setelah Trump mengumumkan keputusannya terkait Jerusalem, Erdogan dan Paus berbicara melalui telepon. Keduanya sepakat, perubahan apa pun atas status Jerusalem harus dihindari. Sebelum bertolak ke Vatikan, Erdogan mengatakan, AS telah mengisolasi diri sendiri dalam isu Jerusalem.
”Dalam proses ke depan, mari dan terimalah Jerusalem sebagai ibu kota Palestina. Ini poin yang harus dicapai. Kami saat ini mengusahakan hal ini,” kata Erdogan.
Pada akhir pertemuan tertutup di Vatikan, kemarin, Paus memberi Erdogan sebuah medali perunggu yang dengan ukiran seorang malaikat memeluk belahan bumi utara dan selatan saat menghadapi perlawanan seekor naga. ”Ini malaikat perdamaian yang menghadapi iblis perang. (Ini) simbol dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan,” kata Paus saat memberikan medali karya seniman Italia Guido Verol itu kepada Erdogan.
Kunjungan Erdogan bertemu Paus tersebut menandai bulan madu hubungan antara Turki dan Vatikan setelah perang katakata antara keduanya pada 2015. Saat itu, Ankara marah atas ucapan Paus Fransiskus yang secara terbuka menyebut tewasnya 1,5 juta warga Armenia pada 1915 sebagai ”genosida”. Istilah ini, dengan merujuk peristiwa itu, selalu dibantah Turki.
Selama kunjungan Erdogan, kemarin, Lapangan Santo Petrus —yang biasanya dipenuhi turis—dikosongkan atas pertimbangan keamanan. Aparat setempat mengerahkan 3.500 polisi untuk berjaga-jaga selama kunjungan itu. Saat bersamaan, otoritas Italia mengeluarkan larangan demonstrasi di Roma selama 24 jam.
Meski demikian, unjuk rasa kecil yang diikuti sekitar 30 orang dan digelar sebuah asosiasi warga Kurdi di Italia berlangsung tak jauh dari Vatikan. ”Di Afrin, kejahatan baru atas kemanusiaan sedang berlangsung,” sebut asosiasi warga Kurdi itu.
Sejak 20 Januari, Turki melancarkan operasi militer ”Ranting Zaitun” ke Afrin, Suriah barat laut, menggempur milisi Kurdi, Unit Pelindung Rakyat (YPG), yang dinilai Ankara sebagai kelompok teror pengancam Turki. (AFP/REUTERS/SAM)