Kairo, Kompas Hingga Selasa (6/2), pesawat tempur Rusia dan Suriah masih melancarkan serangan masif dengan lebih dari 100 gempuran terhadap sasaran milisi oposisi di Ghouta timur dan Provinsi Idlib. Serangan tersebut juga merupakan balasan atas jatuhnya pesawat tempur pengebom Rusia Sukhoi Su-25 di Idlib pada Sabtu lalu oleh senjata anti-serangan udara oposisi.
Sementara organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) menyatakan, 10 kota di Ghouta timur dihujani bom. Menurut pusat media Ghouta yang dioperasikan oleh para aktivis, daerah Douma dan Harasta dihantam rudal darat ke darat.
Kelompok penyelamat Pertahanan Sipil Suriah, yang dikenal dengan sebutan Helm Putih, menjelaskan, serbuan terhadap Ghouta timur menciptakan ”hari berdarah” bagi warga sipil. Kelompok ini juga merilis upaya sukarelawan untuk menyelamatkan korban dari reruntuhan.
Bom kimia
Para pakar kejahatan perang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, kemarin, menyatakan, mereka sedang menyelidiki berbagai laporan bahwa bom yang diduga berisi materi terlarang, chlorine, digunakan untuk menyerang warga sipil. Penggunaan bom kimia terjadi di Saraqeb (Idlib) dan Douma (Ghouta timur).
Paulo Pinheiro, Kepala Penyelidikan Internasional Atas Suriah, mengatakan, pengepungan terhadap kawasan yang dikuasai pemberontak di Ghouta timur meliputi operasi pengeboman tanpa pandang bulu pada permukiman sipil. Pengepungan juga meliputi upaya menciptakan kelaparan di tengah warga sipil.
Sementara itu, Rusia dan negara-negara Barat dalam Sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, Senin, gagal mencapai kesepakatan atas rancangan resolusi tentang mekanisme baru pemberian sanksi terhadap pemakai senjata kimia di Suriah. Tujuan rancangan resolusi yang diusulkan Inggris, Perancis, dan AS itu adalah menciptakan mekanisme baru sebagai pengganti mekanisme lama yang memberikan kewenangan kepada PBB dan Organisasi Anti- Senjata Kimia (OPCW) melakukan penyidikan atas penggunaan senjata kimia.
Mekanisme yang memberikan kewenangan kepada PBB dan OPCW itu disahkan 2015 dan berakhir November 2017. Rusia selama ini menggunakan hak veto untuk menggagalkan perpanjangan tugas PBB-OPCW.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley menuduh Rusia ingin melumpuhkan DK PBB sehingga tidak bisa bergerak untuk memberi sanksi terhadap pelaku serangan senjata kimia di Suriah. Sebaliknya, Dubes Rusia untuk PBB Vasilly Nebenzia mengatakan, tidak ada bukti keterlibatan Pemerintah Suriah dalam penggunaan senjata kimia.
Hayat Tahrir al-Sham
Terkait peristiwa jatuhnya Sukhoi Su-25 pada Sabtu lalu, organisasi Hayat Tahrir al-Sham yang berbasis di Idlib telah menyatakan bertanggung jawab. Organisasi yang dipimpin Mohammad Golani itu dikenal sebagai sayap Al Qaeda di Suriah. Sebelum ini, Hayat Tahrir al-Sham dikenal dengan nama Front Al Nusra dan Jabhat Fath al-Sham.
Pesawat pengebom Rusia itu diduga terbang rendah, yakni kurang dari 5.000 meter di atas permukaan laut, ketika melakukan misi di atas Idlib. Akibatnya, pesawat terjangkau senjata antiserangan udara oposisi. Moskwa terkejut atas kemampuan milisi oposisi di Idlib yang mampu menjatuhkan pesawat Rusia.
Juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, menyampaikan, Moskwa cemas atas senjata anti-serangan udara cukup canggih yang dimiliki oleh milisi oposisi. Dalam insiden itu, pilot Rusia tewas. (ap/reuters/ATO)