Memutus Mata Rantai Terorisme
Di hadapan tiga pria, seorang perempuan terisak. Kepada mereka, perempuan yang mengenakan pakaian tertutup dari kepala sampai kaki itu bertanya, mengapa kedua anaknya dibunuh.
Pria-pria yang diwawancarainya adalah terpidana mati kasus terorisme dan diduga terlibat dalam Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Perempuan yang bertanya adalah ibu dari dua polisi yang dibunuh tiga pria itu. ”Mereka teman-teman kalian. Apakah mereka pernah bersalah kepada kalian? Mengapa kalian menghancurkan keluargaku?” katanya kepada tiga pria yang hanya bisa terdiam itu.
Letupan kemarahan itu adalah salah satu adegan dalam serial televisi yang dipandu Ahmad Hassan. Serial itu ditayangkan di televisi Al-Iraqiya setiap Jumat. Bukan hanya pertemuan keluarga korban dengan terpidana kasus terorisme saja yang ditayangkan setiap Jumat itu.
Hassan dan timnya kerap menampilkan para korban atau lokasi yang disasar para militan NIIS. Materi tayangan itu dipilih dengan maksud menghancurkan sisa-sisa pendukung atau dukungan diam-diam untuk NIIS.
Program itu dibuat dengan kerja sama sejumlah kementerian di Irak. ”Mereka memilih kasus untuk ditayangkan, lalu saya mendapat izin dari Kementerian Kehakiman untuk mewawancara terpidana,” ujarnya.
Dalam setiap episode, ditayangkan kekejian yang diduga pernah dilakukan para terpidana di masa lalu. Bagi Hassan, penayangan hal itu penting dalam perang melawan NIIS.
Secara resmi, Irak memang menyatakan perang melawan NIIS sudah berakhir. ”Akan tetapi, ideologinya masih terus bertahan. Para pendukungnya melihat yang bukan anggota NIIS sebagai kafir dan (para pendukung itu) akan terus membunuh selama ideologi terus hidup,” ujarnya.
Selain menayangkan kekejaman NIIS, biasanya acara itu dilanjutkan dengan tayangan pengakuan para terdakwa. Salah satunya Mithaq Hamid Hekmet (41) yang divonis mati karena terlibat pembunuhan belasan orang di Heet, Baghdad utara.
Di episode lain, ada pula pengakuan Hamid Omar alias Abu Hajjaj. Sebelum ditangkap, ia bekerja di ”Departemen Keuangan” NIIS. Tugasnya memeras perusahaan farmasi, sekolah, agen properti, SPBU, hingga dokter.
Sebagian besar terpidana adalah warga Irak. Sebagian lagi berasal dari negara-negara tetangga Irak. Menurut Hassan, mereka bersedia diwawancara secara sukarela. Tidak ada pengurangan hukuman setelah mereka tampil di acara yang dipandu Hassan. Beberapa di antara mereka yang pernah diwawancarai Hassan telah dieksekusi.
Setidaknya, sepanjang 2017, sebanyak 100 orang yang mayoritas didakwa karena terorisme telah dieksekusi. Menurut
Hassan, pelaksanaan hukuman mati adalah kewenangan Kementerian Kehakiman. Dalam undang-undang Irak, perencana, pelaku, pembantu, dan pendana terorisme diancam hukuman mati.
Pegiat hak asasi manusia (HAM) memprotes acara itu, tetapi Hassan berkeras program itu sesuai hukum. (AFP/RAZ)