BEIJING, KAMIS Meskipun terus mendapat tekanan dari Amerika Serikat, kinerja ekonomi China tetap menunjukkan pencapaian positif. Data resmi yang dirilis, Kamis (8/2), menunjukkan, sepanjang Januari, ekspor negara itu meningkat hingga 11,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017. Nilai ekspor China sepanjang bulan pertama tahun ini mencapai lebih dari 200,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 2.738 triliun.
Peningkatan ekspor pada Januari itu mengalahkan ekspektasi para analis yang sebelumnya memperkirakan peningkatan ekspor China mencapai 10,7 persen. ”Pertumbuhan ekspor tetap kuat di bulan Januari mengindikasikan momentum permintaan global yang stabil,” kata Louis Kuijs dari Oxford Economics.
Salah satu daya yang turut mendongkrak pencapaian itu adalah kampanye pemerintah untuk membatasi pertumbuhan kredit dan mengurangi polusi selama musim dingin yang dilakukan dengan cara memotong produksi industri.
Di sisi lain, surplus perdagangan China dengan AS menyempit dari 25,6 miliar dollar AS pada Desember 2017 menjadi 21,9 miliar dollar AS pada Januari 2018. Penyempitan itu menjadi kabar gembira bagi Beijing yang dalam beberapa bulan terakhir diserang Presiden AS Donald Trump.
Di bawah Trump, Washington tampak begitu bernafsu mengurangi defisit perdagangan dengan Beijing. Salah satunya melalui pengenaan tarif agresif pada berbagai produk China. Sebagaimana diketahui, AS memberlakukan tarif baru pada panel surya buatan China dan mesin cuci. Sebelumnya kebijakan dikenakan untuk produk kayu lapis dan aluminium foil.
Sikap China
Sejauh ini China berusaha menahan diri untuk tidak melakukan pembalasan dengan menambahkan tarif baru untuk impor AS. ”Telah ada tren peningkatan pada organ investigasi AS yang melihat produk China dan China mengkhawatirkan hal itu,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan, Gao Feng.
Namun, Beijing mengindikasikan bahwa hal itu mungkin tidak akan bertahan lama. Pekan ini China mengumumkan penyelidikan atas impor produk pertanian—sorgum—dari AS. Gao tidak menyangkal hal itu. Ia mengatakan, ada beberapa perusahaan pertanian yang terkait dengan relasi dagang China-AS mengkhawatirkan dampak produk pertanian impor.
Meskipun demikian, dia tidak secara langsung menegaskan bahwa langkah itu merupakan bagian dari friksi perdagangan antara China dan AS.
”Secara umum, kepentingan perdagangan China-AS relatif seimbang,” kata Gao. Meskipun demikian, Gao mengatakan, langkah AS berpotensi mengancam sistem regulasi perdagangan global karena mengambil tindakan berdasarkan ketentuan domestik AS, bukan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). ”Kami menentang pendekatan unilateralisme dan proteksionis ini serta berharap Amerika Serikat akan menghadapinya dengan hati-hati,” kata Gao.
”Kami akan melakukan praktik-praktik perdagangan dengan ketat sesuai dengan peraturan WTO dan undang-undang yang relevan di China,” kata Gao.
Ia berharap semua anggota WTO juga mematuhi peraturan internasional. ”Dan, menyelesaikan dengan benar perbedaan ekonomi dan perdagangan mereka melalui dialog serta kerja sama,” kata Gao. Beijing telah mengajukan tuntutan melalui WTO untuk melawan tindakan perdagangan terbaru Washington.
Situasi itu ditengarai akan meningkatkan potensi perang dagang di antara dua kekuatan ekonomi utama dunia. ”Dalam waktu dekat, ketidakpastian seputar hubungan perdagangan China-AS tetap menjadi risiko utama penurunan pasar,” kata Betty Wang, ekonom senior bank ANZ.