Harapan Perdamaian di Pyeongchang
Gelanggang Seonhak International Ice Rink di kota Incheon, Korea Selatan, Minggu (4/2) siang, terasa semarak. Sekitar 3.000 penonton yang hadir menjadi saksi sejarah tampilnya tim hoki es putri gabungan Korea Selatan-Korea Utara melawan Swedia.
Pertandingan itu merupakan laga pendahuluan menjelang Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, Korsel, 9-25 Februari. Hasil akhir pertandingan, tim putri unifikasi Korea kalah 1-3 dari Swedia. Namun, hal itu tak terlalu penting bagi para pemain dan penonton.
Mereka hanya ingin menyaksikan sebuah sejarah. Kantor berita Associated Press mencatat, laga hoki es putri itu adalah pertandingan olahraga pertama kali yang para pemainnya merupakan gabungan kedua Korea.
Tidak ada yang tahu apakah rekonsiliasi dan unifikasi yang mungkin dicita-citakan sudah dekat, masih jauh, atau tidak akan pernah tercapai. Ada kenangan dan luka-luka yang pahit, begitu pahit, dan menyakitkan dalam Perang Korea 1950-1953. Apakah membentuk sebuah tim, kali ini hoki es, untuk saling bekerja sama, saling mengerti kemauan satu dengan yang lain, lalu mencetak skor, bisa merajut bekas-bekas luka dan saling menyembuhkan?
”Saya bahkan tidak peduli dengan hasilnya. Yang saya inginkan adalah bersorak gembira untuk mereka dan melihat mereka bekerja sama, saling membantu,” kata Kim Hye-ryeon, salah seorang warga yang menonton pertandingan itu.
Harapan lebih besar diungkapkan warga lainnya, Kim Won-jin. Ia bersama istri dan anaknya yang masih bayi melakukan perjalanan berjam-jam untuk sampai di gelanggang itu. Dia mengaku bangga menyaksikan sebuah sejarah lewat pertandingan tersebut.
”Jika kita bersatu lagi, para pemain muda, baik dari Korsel maupun Korut, akan mampu melihat ke belakang dan sekaligus bangga bahwa mereka telah berkontribusi membuat sebuah perubahan sejarah,” tutur Kim Won-jin.
Mengejutkan
Keikutsertaan Korut dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang cukup mengejutkan. Indikasinya baru muncul pada awal tahun ini. Sebagian kalangan juga curiga apa sebenarnya maksud Pyongyang di balik semua ini, di tengah memburuknya hubungan kedua negara dalam beberapa waktu terakhir akibat program nuklir Korut.
Sinyal keikutsertaan Korut dalam Olimpiade disampaikan sendiri oleh Pemimpin Korut Kim Jong Un tepat pada awal 2018. ”Saya tulus berharap Olimpiade Pyeongchang berjalan sukses,” kata Jong Un dalam pidato Tahun Baru. ”Kami berniat untuk mengirim delegasi. Untuk itu, otoritas Utara dan Selatan perlu bertemu dalam waktu dekat.”
Gedung Biru, Kantor Presiden Korsel, segera menyambut positif keinginan Jong Un. ”Kami menyambut baik. Kesuksesan Olimpiade tak hanya berkontribusi pada perdamaian Semenanjung Korea, tetapi juga pada dunia,” demikian pernyataan Gedung Biru.
Beberapa hari seusai pidato Tahun Baru Jong Un, Korsel dan Korut sepakat untuk kembali menjalin hubungan, baik sipil maupun militer, setelah keduanya dua tahun tak berkomunikasi. Dua negara itu juga berjanji akan mengomunikasikan persoalan apa pun demi mencegah salah paham yang dapat berbuntut pada perselisihan. Korsel berharap Olimpiade Musim Dingin menjadi pintu masuk bagi rekonsiliasi kedua negara.
Orkestra Korut
Kehebohan kembali terjadi di Korsel, Selasa lalu, atau dua hari setelah tim hoki es gabungan bertanding. Penari, penyanyi, dan pemain musik—anggota kelompok orkestra Samjiyon—yang berjumlah 140 orang datang dengan menggunakan kapal Mangyongbong-92. Kelompok itu dipimpin diva Korut, Hyon Song Wol.
Selain disambut media, kedatangan mereka juga disambut sekelompok demonstran. Meski jumlahnya tidak besar, kelompok pengunjuk rasa berteriak-teriak memprotes kedatangan rombongan Korut dan keikutsertaan negara itu dalam Olimpiade.
Namun, unjuk rasa tidak sampai menimbulkan gangguan langsung pada rombongan orkestra.
Kapal Mangyongbong-92 sekaligus digunakan sebagai tempat menginap kelompok itu, minimal sementara, hingga mereka menuju Seoul untuk tampil dalam sebuah acara yang telah dijadwalkan pada Minggu (11/2). Langkah tersebut diambil Korut untuk mengontrol warga mereka sehingga tidak terkontaminasi ideologi yang bertentangan dengan yang dianut Pyongyang. Di luar rombongan pengisi acara ini, terdapat puluhan warga Korut lainnya yang ambil bagian dalam Olimpiade. Mereka adalah 22 atlet taekwondo yang akan tampil di sebuah ekshibisi dan tim pemandu sorak yang semuanya adalah perempuan.
Namun, belum surut euforia kecil atas kedatangan rombongan dari Pyongyang, warga Korsel dan publik global dikejutkan dengan pelaksanaan parade militer Korut di Pyongyang. Persenjataan negara itu dipamerkan. Ada rudal-rudal balistik antarbenua yang ditempatkan di urutan paling belakang parade yang berlangsung di Alun-alun Kim Il Sung.
Parade digelar dalam rangka memperingati ulang tahun ke-70 angkatan bersenjata Korut, yang sebenarnya jatuh pada 25 April. Khusus tahun ini, parade peringatan hari angkatan bersenjata diadakan sehari menjelang pembukaan Olimpiade Musim Dingin. Baru sebulan lalu, Pyongyang mengumumkan perubahan peringatan ulang tahun angkatan bersenjata menjadi 8 Februari.
Jong Un sama sekali tidak menyinggung Olimpiade Musim Dingin dalam pidatonya yang disiarkan televisi. Ia lebih memperlihatkan kegeramannya kepada Amerika Serikat.
Presiden Korsel Moon Jae-in menyatakan, melalui Olimpiade Musin Dingin, setelah terjalin hubungan antartim kedua negara, diharapkan perundingan internasional Korsel-Korut bersama mitra-mitra lain dapat berjalan seiring. Setidaknya untuk menunda hingga menghentikan program pengembangan nuklir Korut. Korsel juga menawarkan bantuan perekonomian dan jaminan keamanan di kedua negara dan di kawasan.
”Kita juga harus mengarahkan Korut pada dialog penghentian program nuklir, diharapkan pula saat bersamaan memperbaiki hubungan kedua Korea,” ucap Moon.
Harapan senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Menurut dia, Olimpiade bukan semata-mata kesempatan berfoto ria, melainkan juga penciptaan kondisi menuju dialog serius untuk mengakhiri krisis nuklir Korut. Perundingan Korsel-Korut, menurut dia, mutlak diperlukan.
Namun, jalan rasanya masih panjang untuk mencapai perdamaian antarkedua Korea dan kawasan. Parade para atlet dengan satu bendera di kegiatan olahraga itu belum cukup. Selain itu, tidak sedikit warga Korsel yang menentang misi sang presiden. Puluhan ribu tanda tangan yang menentang unifikasi kedua Korea di Olimpiade dikirimkan warga ke kantor presiden. Bahkan, Reuters melaporkan, ada warga yang menilai Korsel telah dibodohi Korut karena seakan-akan lebih memopulerkan Olimpiade Pyeongchang itu sebagai Olimpiade Korut dibandingkan Korsel.
”Kehadiran atlet-atlet Korut di Pyeongchang adalah sebuah hal yang memalukan,” kata Remco Breuker, profesor studi tentang Korea di Universitas Leiden. ”Dengan mempersilakan Korut berpartisipasi dalam kegiatan itu, Seoul telah melangkahi deklarasi universal tentang hak asasi manusia.”
Kemarahan publik Korsel juga muncul akibat perencanaan Olimpiade yang dinilai tidak memuaskan. Total biaya membengkak lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 6 miliar dollar AS menjadi lebih dari 13 miliar dollar AS. Akibatnya, harga tiket melambung tinggi. Alhasil, dua hari sebelum pembukaan digelar, semua arena olahraga memang telah siap, tetapi nyatanya baru sekitar 25 persen tiket penonton yang terjual.
Dengan semua dinamika itu, akankah Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang mampu menjadi tonggak awal bagi perdamaian sejati di Semenanjung Korea? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
(BENNY D KOESTANTO)