China Tidak Lagi Bangga dengan Buatan China

foto-foto: KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Pengelola Tsinghua University Science Park di Beijing, China, menjelaskan hasil inovasi dan para perintis pusat inovasi itu kepada Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi .

China tidak mau lagi menjadi ”penjahit” karya negara lain. Para inovator  telah menggerakkan energi bangsa itu, menjadikan China menjadi pusat inovasi dunia. Mereka tidak lagi bangga dengan slogan  ”buatan China”. Mereka menggantinya dengan  slogan baru, ”rancangan China”.

KRIS RAZIANTO MADA

Tempat pengisian daya ulang untuk kendaraan bertenaga listrik tersedia di sejumlah titik di Beijing, China. Kendaraan bertenaga listrik adalah salah satu China menekan polusi udara. Pemerintah China mencatat sedikitnya 1 juta mobil listrik terdaftar di negara itu. Jumlah kendaraan bertenaga listrik semakin besar jika menghitung sepeda motor bertenaga listrik yang mayoritas tidak terdaftar. China merupakan negara dengan jumlah kendaraan bertenaga listrik terbanyak di Bumi.

Uniknya, perusahaan-perusahaan China tidak masuk dalam daftar konglomerasi besar dunia sampai akhir abad ke-20. Meski demikian, rintisan untuk menuju ke sana sudah dilakukan sejak dekade tahun 1970-an. China kala itu mendorong pertumbuhan wirausaha. Bentuk insentifnya berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam beberapa tahun terakhir, insentif diberikan antara lain kepada wirausaha berbasis

teknologi dan inovasi. Pada 2006, Presiden China Hu Jintao mencanangkan target bahwa China harus menjadi bangsa inovatif pada tahun 2020.

Selanjutnya, di pertengahan 2014, Perdana Menteri China Li Keqiang kembali menegaskan kebijakan China soal wirausaha berbasis inovasi. Ia menyebut konsep itu sebagai Wirausaha Massal, Inovasi Universal.

Kebijakan itu diambil untuk menghasilkan mesin pertumbuhan baru setelah era infrastruktur, manufaktur generasi awal, gelombang besar tenaga kerja, dan konsumsi melambat.

Dukungan

Pemerintah China mengucurkan ratusan miliar yuan untuk mendanai wirausaha berbasis inovasi. Dana itu antara lain disalurkan dalam bentuk subsidi bunga, kredit lunak, hingga jaminan kredit bagi perusahaan rintisan. Pemerintah China juga membuat kebijakan fiskal khusus untuk perusahaan-perusahaan rintisan itu.

Lembaga-lembaga keuangan didorong menciptakan layanan khusus bagi perusahaan rintisan itu. Perusahaan yang layak didorong masuk ke pasar modal agar bisa mendapat potensi pendanaan lebih luas. Ada pula layanan khusus bagi programprogram yang didanai secara massal.

Soal pendanaan untuk penelitian dan pengembangan, China tidak main-main. Kini, dana litbang China setara 20 persen keseluruhan dana litbang global. Dari keseluruhan dana litbang China, 75 persen berasal dari perusahaan. Sementara orang yang terlibat dalam litbang China mencapai 30 persen dari seluruh tenaga litbang global.

Hasil yang didapat China dari belanja itu antara lain perubahan karakter industri yang kini mendekati teknologi tinggi. Perusahaan-perusahaan China menjadi yang terdepan dalam telekomunikasi seluler, komponen dan program satelit, kereta cepat, superkomputer, internet, hingga teknologi kuantum.

Pusat inovasi

Pemerintah China juga mendorong pengoperasian pusat-pusat inovasi yang menggandeng perguruan tinggi. Pusat-pusat inovasi itu saling dihubungkan satu sama lain dengan pemangku kepentingan terkait.

Kurikulum juga diubah agar para pelajar lebih siap menjadi wirausaha berbasis inovasi. Berbagai pusat pelatihan dibuat untuk para calon wirausaha. Kini, hasil wirausaha menyumbang 25 persen dari produk domestik bruto China.

”Mereka (perusahaan rintisan binaan pusat inovasi) menyumbang 23 persen pajak China. Semua dari perusahaan-perusahaan yang dirintis dari tempat seperti TUS Park (Tsinghua University Science Park),” ujar Kepala Pengelola TUS Park, Hebert Chen, kala berdiskusi dengan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Jumat (9/2), di Beijing, China.

Retno mengatakan, pola China bisa dipelajari lalu dikembangkan Indonesia. Dengan jumlah tenaga kerja muda yang banyak, Indonesia membutuhkan mesin baru perekonomian. Mesin itu tidak hanya untuk menampung tenaga kerja yang amat banyak. Mesin ekonomi itu juga akan menjadi pendorong kesejahteraan.

Di China, bukan hanya karena kebijakan pemerintah yang menjadi daya tarik bagi anak-anak muda menjadi wirausaha berbasis inovasi. Bukti keberhasilan Jack Ma lewat Alibaba, Ma Huateng lewat Tencent, atau Lei Jun lewat Xiaomi juga memikat mereka.

Chen mengatakan, anak muda China juga mendapat pencerahan soal porsi yang diterima China sebagai ”penjahit” aneka produk. Ia mencontohkan, salah satu ponsel yang harga pasarnya 700 dollar AS hanya membutuhkan biaya produksi total 200 dollar AS. Dari keseluruhan biaya itu, porsi China rata-rata hanya 10 dollar AS. ”Risiko menjadi perakit, hanya menerima upah sedikit. Dulu kami bangga dengan made in China, sekarang kami tidak lagi dan mau yang lain,” ujarnya.

Chen dan anak-anak muda di pusat-pusat inovasi ingin mengganti slogan ”buatan China” menjadi ”rancangan China”. Slogan itu berarti dibutuhkan lebih banyak inovasi untuk menghasilkan aneka produk. ”Kami merancang lalu membuatnya. Tidak sekadar membuat atau merakit saja,” kata Chen.

Bagi Chen dan banyak pengelola pusat inovasi dan anak-anak muda di sana, produk berbasis inovasi akan menjadi alternatif baru untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan penduduk China. ”Kami tidak bisa lagi membiarkan anak-anak muda di sini hanya menjadi perakit hasil inovasi bangsa lain. Kami harus merakit hasil inovasi China,” kata Chen.