Pyeongchang atau Pyongyang
Sudah empat hari ini, Pyeongchang, kota tuan rumah Olimpiade Musim Dingin, menjadi perhatian dunia. Di jagat media sosial Twitter, saat upacara pembukaan pada Jumat lalu, tidak sedikit yang terkecoh menyebut ”Pyeongchang” dengan ”Pyongyang”, ibu kota Korea Utara.
Jangankan kaum awam, tahun 2014 ada delegasi konferensi PBB di Pyeongchang nyasar mendarat di Pyongyang. Entah bagaimana delegasi asal Kenya itu bisa lolos masuk ke dalam pesawat menuju Pyongyang, padahal tidak punya visa Korut.
Sejak itu untuk mempertegas perbedaan dengan Pyongyang, otoritas Pyeongchang menamai ulang kota resor ski—sekitar 180 kilometer sebelah timur Seoul—itu dengan penulisan ”PyeongChang” (huruf C kapital). Namun, ratusan pengguna Twitter beberapa hari terakhir—entah sengaja dipelesetkan atau karena memang tidak tahu—menyebut Olimpiade ini dengan ”Pyongyang2018”.
Bagi kita di Indonesia, ajang olahraga itu mungkin tak akan mendapat perhatian jika tidak ada konteks relasi Korsel-Korut. Ketegangan di Semenanjung Korea, yang memanas sepanjang tahun 2017 dengan sejumlah uji coba rudal dan nuklir Korut plus terpilihnya Presiden AS Donald Trump, rival Kim Jong Un dalam perang kata-kata, cukup menguras energi dan emosi. Ada dimensi politik internasional yang kental di balik arena Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang.
Keputusan Kim Jong Un mengirim kontingen atlet negaranya, lengkap dengan barisan suporter, terbilang mendadak. Keputusan itu disampaikan awal tahun ini dalam pidato tahun baru Kim, ketika Korut belum lama mendapat sanksi baru Dewan Keamanan PBB terkait aktivitas nuklir dan uji coba rudalnya. Ajang Olimpiade Musim Dingin ini menjadi semacam ”diplomasi olahraga” atau menurut istilah PM Jepang Shinzo Abe adalah ”diplomasi senyuman” Kim.
Penggunaan ajang olahraga untuk tujuan dan motif politik seperti itu bukan hal yang baru dan mengherankan, terutama di ajang akbar sekelas Olimpiade. Seperti dicatat Richard W Pound dalam buku Inside The Olympics, sejak Olimpiade
Antwerp (Belgia) 1920—Olimpiade pertama setelah Perang Dunia I—penyelenggaraan Olimpiade sangat dipengaruhi lanskap politik internasional. Tahun itu, negara-negara yang kalah perang tidak diundang tampil di Olimpiade, seperti Jerman, Austria, Bulgaria, Hongaria, dan Turki (Richard W Pound, 2004).
Dalam perjalanan Olimpiade berikutnya, sejumlah peristiwa besar internasional tidak sekadar bumbu, tetapi juga ikut menentukan penyelengaraannya. Sebut, misalnya, Olimpiade Berlin 1936 saat Adolf Hitler dan Nazi berkuasa di Jerman; dikucilkannya Jerman dan Jepang—dua negara yang kalah dalam PD II—pada Olimpiade London 1948; lalu boikot AS pada Olimpiade Moskwa 1980 terkait invasi Uni Soviet ke Afghanistan; termasuk juga boikot Korut pada Olimpiade Seoul 1988.
Bahkan, Olimpiade 1988 didahului insiden peledakan pesawat Korean Air 858 rute Baghdad-Seoul, yang menewaskan 115 orang. Seoul menuding pelaku peledakan adalah seorang perempuan Korut atas perintah Kim Jong Il, ayah Kim Jong Un yang kini berkuasa.
Korsel di bawah Presiden Moon Jae-in tentu lega Korut tampil di Pyeongchang. Setidaknya, untuk sementara ketegangan kawasan sedikit mereda. Klop dengan tekadnya menjadikan ajang ini sebagai ”Olimpiade Perdamaian”. Hubungan Korsel-Korut pun tampak mesra dengan diundangnya Moon oleh Kim.
Namun, tunggu dulu. Siapa yang nanti bakal memetik untung dalam ”diplomasi olahraga” saat ini: Pyeongchang atau Pyongyang? Kita berharap, kedua pihak sama-sama merasa untung, ketegangan kawasan lenyap, dan berbuah perdamaian. Semoga saja demikian. (MH SAMSUL HADI)