NAYPYIDAW, SELASA — Satu langkah maju berhasil diraih Myanmar. Kelompok pemberontak Partai Negara Bagian Mon Baru (NMSP) dan Uni Demokratik Lahu (LDU) pada Selasa (13/2) menandatangani kesepakatan gencatan senjata nasional di ibu kota Naypyidaw, Myanmar. Mereka bergabung dengan delapan milisi lain yang telah menandatangani gencatan senjata pada tahun 2015 sebelum Aung San Suu Kyi menduduki kursi Penasihat Negara Myanmar.
Selanjutnya, Pemerintah Myanmar di bawah Aung San Suu Kyi terus berupaya agar dua kelompok etnis lain, yaitu Shan dan Kachin, mengambil langkah serupa. Selama ini dua kelompok terbesar dan kuat itu masih menjaga jarak dengan pemerintah. Mereka berkeras menginginkan solusi politik yang komprehensif sebelum mereka meletakkan senjata.
Terkait situasi itu, di depan Presiden Myanmar Htin Kyaw, sejumlah pemimpin militer, dan pejabat-pejabat negara, Aung San Suu Kyi mengajak semua pihak untuk melangkah maju. "Dengan melepaskan senjata kita, marilah kita bertemu di meja bundar negosiasi dan mencoba berdiskusi dengan jujur seperti keluarga," kata Suu Kyi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan masih adanya beberapa kelompok milisi yang belum menandatangani kesepakatan gencatan senjata nasional (NCA), Pemerintah Myanmar akan berupaya mengurangi konflik bersenjata. "Kami akan menemui mereka dan mencari solusi. Kami akan berusaha untuk membawa semua organisasi di bawah payung NCA dan mendesak mereka berpartisipasi dalam dialog politik," kata Suu Kyi menambahkan.
Meskipun banyak mendapat kecaman terkait isu Rohingya, Suu Kyi berupaya keras menjadi perdamaian sebagai prioritas utama pemerintahannya. Uni Eropa dan Amerika Serikat menyambut baik langkah maju yang diraih Myanmar. Secara khusus, Uni Eropa menyerukan diakhirinya bentrokan di sejumlah wilayah di Myanmar dan mendorong dialog.
Meskipun masih dirundung keraguan, Ketua LDU Kya Khun Sar menyambut baik langkah Pemerintah Myanmar. "Kami percaya pada Daw Aung San Suu Kyi, tetapi kita harus melihat apa yang terjadi di jalan di depan karena pemerintah dan militer tidak terlalu bersatu," kata Kya Khun Sar.
Tidak dapat dimungkiri, meskipun rezim militer tidak lagi menguasai Myanmar, kedudukan tentara masih sangat kuat. Mereka menguasai urusan dalam negeri, perbatasan, pertahanan, dan seperempat kursi parlemen.
David Mathieson, seorang analis politik yang berbasis di Yangon, mengatakan, proses perdamaian di Myanmar sebenarnya telah rusak, tetapi kantor Aung San Suu Kyi tidak menyadarinya. Ia berpendapat, aktor utama yang menggagalkan proses itu adalah tentara.
Seorang anggota Partai Nasional Taaung, Mai Win Htoo, mengatakan, selain belum menghasilkan banyak buah bagi komunitasnya, perundingan damai juga koyak. Ia mengatakan, di wilayah Shan kerap terjadi pertempuran. (AP/AFP/JOS)