Nilai Jasa Antar Makanan di China Setara Ekonomi Bolivia
Oleh
·3 menit baca
Kelindan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup menghadirkan aneka fenomena baru. Di China, misalnya, terjadi perubahan jenis restoran, hubungan konsumen-produsen dalam metode jual-beli makanan, yang akhirnya berefek pada industri ritelnya.
Nilai ekonomi jasa antar makanan di negeri itu sepanjang tahun lalu mencapai angka tertinggi. Merujuk lembaga konsultan iiMedia Research, nilai makanan yang dikirim melalui jasa antar makanan tahun 2017 mencapai 200 miliar yuan
(Rp 431,1 triliun). Nilai itu lebih kurang sama dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Bolivia.
Artinya, nilai makanan via jasa antar di China itu setara dengan nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi Bolivia. Jangan salah, sebagai sebuah tren, nilai makanan antaran di China itu diprediksi akan meningkat hingga 20 persen sepanjang tahun ini.
Shanghai adalah salah satu kota yang menjadi tolok ukur perubahan gaya hidup di China. Kondisi itu menjadi berkah tersendiri bagi Guo Bonan, pemilik restoran bergaya Sichuan, 8Peppers. Setahun terakhir, ia membuka beberapa restoran di sejumlah tempat di Shanghai. Total awal tahun ini ada 10 gerai yang dibuka Guo, dengan peluang gerai-gerai baru siap ditambahnya di tahun ini dan masa selanjutnya.
Yang menarik, tak satu pun dari restoran itu menyajikan meja atau tempat makan. Makanan yang dijual hanya dibungkus dan kebanyakan diantar kepada pemesannya melalui layanan online atau dalam jaringan (daring). Mereka adalah konsumen rumah, apartemen, perkantoran, hingga pabrik. 8Peppers cukup menyediakan dapur dan tempat mengepak makanan.
Dua tahun terakhir
”Ledakan” aplikasi daring yang menawarkan jasa antar makanan di China terjadi dalam dua tahun terakhir. Merujuk data Pusat Jaringan Internet China, jumlah pemesanan melalui jasa antar makanan naik dua kali lipat dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu, jumlah pemesanan makanan mencapai 343 juta. Mayoritas menggunakan layanan aplikasi telepon pintar.
Fenomena yang terlihat kini di China, antara lain, makin banyak warga yang memesan makanan via telepon pintar, hilir mudiknya petugas pengantar makanan di jalan-jalan, bertambahnya sampah bungkus makanan, hingga meningkatnya jumlah kecelakaan kendaraan bermotor di jalan. Jasa layanan pengantar makanan diduga menjadi ”penyumbang” efek-efek samping itu.
Ada kecenderungan keluargakeluarga kini enggan memasak di rumah. Jumlah keluarga dan pekerja yang makan bersama di restoran pun cenderung turun. Jika bisa membeli, tanpa pergi ke restoran, dan datang dalam waktu cepat, kenapa harus memasak sendiri? Peluang-peluang itu ditangkap restoran model 8Peppers.
Di sisi lain, jumlah restoran dengan model yang umum atau konvensional menurun. Model bisnis usaha ritel juga berubah. Kebutuhan keluarga atas bahan makanan yang turun membuat bisnis usaha ritel hingga supermarket turun. Pengusaha-pengusaha ritel pun tidak sedikit yang mengubah model bisnis mereka. (AFP/BEN)