Irak, antara Proyek Rekonstruksi dan Budaya Korupsi
Oleh
Musthafa Abd Rahman Dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Pascadeklarasi kemenangan atas kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Desember lalu, PM Irak Haider al-Abadi mengatakan, Irak segera memasuki era jihad lebih berat, yakni memerangi budaya korupsi dan melakukan rekonstruksi negeri yang hancur lebur akibat perang. Inilah pertaruhan pemerintahan PM Abadi saat ini untuk melakukan gebrakan secara paralel, yakni perang melawan korupsi dan sekaligus melakukan proyek rekonstruksi negeri.
Konferensi rekonstruksi Irak telah digelar selama tiga hari, Senin hingga Rabu (12-14/2), di Kuwait. Konferensi itu dihadiri delegasi dari 72 negara dan lebih dari 2.000 perusahaan konstruksi mancanegara. Di forum itu, Irak mengajukan 157 proyek rekonstruksi.
Konferensi tersebut telah menghasilkan komitmen bantuan sebesar 30 dari 88 miliar dollar AS yang diajukan Baghdad. Sebagian besar komitmen bantuan itu berbentuk kredit dan investasi kepada Irak dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
Dari angka 88 miliar dollar AS, sebanyak 22 miliar dollar AS untuk kebutuhan rekonstruksi mendesak atau jangka pendek, sedangkan sisa 66 miliar dollar AS untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang.
Sebagian besar dana yang dijanjikan dalam konferensi itu diarahkan untuk pembangunan kembali infrastruktur dan permukiman, khususnya di kota Mosul yang baru bebas dari cengkeraman NIIS. Tercatat 2,6 juta rakyat Irak masih hidup di kamp-kamp pengungsi di sekitar kota Mosul dan kota-kota lain. Sebanyak 138.000 rumah hancur akibat perang.
Isu korupsi
PM Abadi di depan para pemimpin perusahaan swasta yang hadir dalam konferensi itu berjanji, pemerintahannya akan memimpin gerakan reformasi melawan budaya korupsi dan menghilangkan semua hambatan birokrasi demi mendapat kepercayaan investor.
Abadi mengakui, korupsi di Irak bersembunyi di balik birokrasi dan tiadanya transparansi di semua lini. Menlu AS Rex Tillerson di forum itu juga menyerukan agar Pemerintah Irak lebih transparansi dan menindak tegas pelaku korupsi.
Isu korupsi dan proyek rekonstruksi kini menjadi dua isu besar di Irak setelah era NIIS. Irak memiliki citra buruk terkait isu korupsi. Negeri itu kini menempati posisi ke-166 dari 176 negara terkorup di dunia.
Irak hanya lebih baik dari 10 negara terkorup dalam urutan paling akhir daftar tersebut. Sepuluh negara terkorup itu adalah Somalia, Korea Utara, Venezuela, Afghanistan, Libya, Sudan Selatan, Sudan, Yaman, Suriah, dan Guinea-Bissau.
Praktik korupsi di Irak merambah semua lini, baik sektor pemerintah maupun swasta. Maraknya budaya korupsi di Irak akibat masih lemahnya sendi-sendi negara akibat konflik senjata berkepanjangan hingga berandil memunculkan NIIS pada tahun 2014.
Tidak bisa dimungkiri bahwa budaya korupsi menjadi titik lemah Irak dalam membangun masa depannya, khususnya terkait proyek rekonstruksi negeri. Tidak ada pilihan lain bagi PM Abadi kecuali bisa segera menunjukkan kemajuan dalam perang melawan korupsi agar meraih kepercayaan negara-negara donor dalam proyek rekonstruksi negara itu.
Abdurrahman Mustafa, warga kota Mosul, kepada koran Al Quds Al-Arabi, mengusulkan agar proyek rekonstruksi di Irak diawasi dan ditangani lembaga internasional. Tak ada gunanya konferensi rekonstruksi di Kuwait jika para koruptor masih mendapat peluang mencuri dana internasional dan ditransfer ke rekening pribadi mereka.