Kembalinya Duo Perancis-Jerman di Gelanggang UE
Setelah empat bulan berada dalam ketidakpastian politik, Kanselir Jerman Angela Merkel berhasil mencapai kesepakatan koalisi dengan Partai Sosial Demokrat (SPD), pekan lalu. Kesepakatan itu harus dibayar mahal oleh kubu Merkel (Uni Demokratik Kristen/CDU) antara lain dengan melepas posisi menteri keuangan yang selama ini menjadi ”milik” CDU.
Masih ada satu tahapan krusial lagi sebelum pemerintahan koalisi ini bisa bekerja, yaitu referendum yang akan dilakukan oleh sekitar 464.000 anggota SPD. Jika mereka sepakat, pemerintahan akan terbentuk sekitar akhir Maret. Jika tidak, kemungkinan ada pemilu baru. Namun, melihat kegalauan mayoritas warga Jerman yang menginginkan ketidakpastian politik ini segera berakhir dan keberhasilan SPD meraih hampir semua hal yang diinginkan, kemungkinan besar mayoritas SPD akan menyetujuinya.
Artinya, Merkel akan dinobatkan sebagai Kanselir Jerman yang keempat kalinya. Ia dan kabinetnya harus segera tancap gas karena setelah ”absen” selama lima bulan, Jerman mulai ketinggalan kereta atas sejumlah isu mutakhir yang bergulir di UE. Prioritas Jerman adalah mewujudkan reformasi ekonomi di Uni Eropa yang dikampanyekan Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Isyarat itu sudah diberikan pada pertengahan Januari lalu. Merkel dan Macron menandatangani deklarasi bersama 50 tahun Traktat Elysee. Traktat ini merupakan komitmen kedua negara untuk saling menguatkan kerja sama pasca-Perang Dunia II yang pertama kali ditandatangani oleh Kanselir Konrad Adenauer dan Presiden Charles de Gaulle pada 1963. Merkel dan Macron menyebut traktat itu sebagai ”kemitraan baru” Jerman-Perancis.
Ini merupakan titik awal kembalinya duo Jerman-Perancis ke gelanggang Eropa. Kedua negara sepakat untuk memprioritaskan Eropa dalam kebijakan pemerintahan mereka. Dan itu dimulai dengan mengonkretkan desain reformasi yang diusulkan Macron ke dalam kebijakan yang lebih aplikatif. Kedua menteri keuangan, yaitu Bruno Le Maire (Perancis) dan Peter Altmaier (Jerman), sudah mulai menyinkronkan gagasan soal perbankan bersama untuk zona euro, pembentukan pasar modal bersama di UE, dan harmonisasi pajak korporat. Semuanya ditargetkan selesai pada Juni mendatang.
Namun, para ahli ekonomi kedua negara sudah tak sabar menunggu hasil rembukan pemerintah mereka. Sebanyak 14 ahli ekonomi Jerman dan Perancis berinisiatif merinci langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membentuk moneter bersama di UE yang antara lain akan membuat mata uang euro tetap kuat kala terjadi guncangan politik atau ekonomi. Hasil rembukan para ekonom Perancis dan Jerman ini dipublikasikan bersama-sama di harian Perancis Le Monde dan harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung.
Menurut Politico (19/1), gagasan dasar yang melandasi pemikiran para ekonom ini adalah Jerman dan Perancis memiliki sejarah dan tradisi berbeda dalam menerapkan pendekatan terhadap isu moneter bersama. Namun, keduanya sepakat pemerintah tidak boleh membuang waktu lagi untuk segera beraksi karena tidak ada yang pernah tahu kapan krisis finansial akan menerjang.
Intinya, zona euro menuntut disiplin finansial (seperti ditekankan oleh pihak Jerman) dan berbagi risiko (seperti yang ditekankan Perancis). Dengan demikian, manajemennya harus kredibel dan tidak bisa bergantung pada aturan kaku semata yang kerap tidak bisa diimplementasikan atau saat pemerintah yang bersangkutan tidak mampu memenuhi janjinya. Pemerintah harus secepatnya bertindak karena, kalaupun saat ini pertumbuhan ekonomi UE terlihat baik, zona euro tetap akan rentan terhadap guncangan ekonomi.
Ke-14 ekonom itu—di antaranya Jean Pisani-Ferry yang menjadi arsitek utama platform reformasi Macron dan Clement Fuest dari Institut Riset Ekonomi di Jerman—juga menganjurkan enam reformasi ekonomi. Pertama, membatasi jumlah utang negara yang masuk dalam neraca bank dan memperkecil jumlah pemberian pinjaman yang buruk. Intinya, ketika terjadi krisis, bank bersangkutan masih bisa berfungsi. Kedua, aturan defisit UE harus direformasi menjadi lebih sederhana dan kredibel. Daripada fokus pada defisit anggaran, lebih baik negara bersangkutan patuh pada target pengeluaran. Hal ini harus diawasi oleh institusi independen.
Ketiga, ini yang paling kontroversial, yaitu mengimplementasikan mekanisme hukum untuk negara-negara tak mampu merestrukturisasi utang. Hal ini agar ”drama utang” yang terjadi pada Yunani sejak 2010 tidak terulang lagi. Tiga reformasi lainnya, yakni membentuk dana bersama untuk membantu negara-negara yang terkena krisis, perlunya membentuk ”aset yang aman”, serta menekankan pengawasan kebijakan ekonomi dan sanksi terhadap pemerintahan yang tak patuh.
Masukan dari para ahli ekonomi ini akan membantu kubu Macron dan Merkel dalam merumuskan agenda reformasi menjadi langkah-langkah spesifik yang bisa diimplementasikan oleh seluruh anggota UE. Tanpa dorongan dari duo Jerman-Perancis, kelanjutan gagasan itu seperti mandul. Macron memang penuh dengan gagasan besar, tetapi ia butuh kedisiplinan dan ketajaman analisis Merkel untuk mentransformasikannya.
Meski demikian, ambisi kedua negara ini bisa disalahmengerti oleh negara-negara lainnya. Seperti para pendahulunya, Perancis dan Jerman—dahulu plus Inggris—menginginkan Eropa yang ”berbeda kecepatan” yang akan berpusat di zona euro. Selama puluhan tahun, negara-negara yang memiliki tingkat kemajuan tinggi di Eropa tak sabar karena selalu harus menunggu pergerakan negara-negara anggota yang ”lamban”, termasuk di sini adalah negara-negara yang berada di luar zona euro, seperti kubu Visegrad.
Namun, kebijakan ini akan membuat kelompok nonzona euro merasa diperlakukan sebagai anggota ”kelas dua”. Bukan hanya itu, fokus Macron terhadap relasi Perancis-Jerman juga akan menimbulkan rasa iri dan meminggirkan negara-negara lainnya.
Mengantisipasi kemungkinan itu, Macron mengambil langkah yang tidak dilakukan para pemimpin Perancis sebelumnya, yaitu lebih intens menggalang hubungan dengan negara-negara di luar zona euro, antara lain dengan melakukan kunjungan ke negara-negara eks Eropa Timur. Ia juga mengikutsertakan Italia dan Spanyol dalam pertemuan Jerman-Perancis di Paris.
Intinya, Perancis dan Jerman akan kembali menjadi lokomotif Eropa. ” "Eropa harus bangun dari tidur. Kita harus menetapkan cakrawala bersama-sama. Kita akan menjadi pemimpin dunia masa depan,” kata Macron.
(MYRNA RATNA)