Siapa pun yang terlibat atas kematian Adelina harus mendapat hukuman setimpal. Pernyataan ini disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Minggu (18/2) sore, menanggapi kasus Adelina. ”Kami turut berduka cita. Kami minta pelaku dibawa ke ranah hukum,” kata Wapres Jusuf Kalla.
Lantaran kematiannya yang mengenaskan, Kalla meminta agar penanganan kasus ini dilakukan dengan tegas. Meski Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah menjalin kontak dengan Pemerintah Malaysia, Kalla berkeinginan untuk melakukan hal serupa. Jika diperlukan, Kalla ingin menghubungi Perdana Menteri Malaysia Najib Razak langsung agar ada ketegasan penanganan hukum.
”Dan (yang lebih penting) jangan sampai terjadi lagi,” kata Wapres Jusuf Kalla.
Adelina adalah tenaga kerja ilegal yang diberangkatkan oleh calo pada Agustus 2015 saat ia berusia 17 tahun. Sebelum keberangkatan, calo memberi iming-iming uang Rp 500.000 kepada orangtua Adelina.
Para calo membawa Adelina saat Yohana Banunaek, ibu Adelina, sedang berada di sawah, sedangkan ayahnya, Marthen Sau, memberi makan ternak di belakang rumah (Kompas, Kamis (15/2).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jenasah Adelina tiba di Jakarta pada Jumat (16/2). Jenazah Adelina tiba di Kupang pada Sabtu (17/2) dan diserahkan perwakilan pemerintah kepada pihak keluarga.
Kepala BNP2TKI Nusron Wahid mengatakan, akar kasus ini adalah mekanisme perlindungan. Menurut Nusron, mekanisme yang dimaksud belum sejalan antara keinginan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia.
Pemerintah Malaysia tak mengenal hubungan industrial antara majikan dan buruh dalam konteks hubungan antara majikan dan asisten rumah tangga. Mekanisme perlindungan TKI dalam model penempatan yang digagas Indonesia, kata Nusron, sampai sekarang juga belum diimplementasikan oleh Pemerintah Malaysia.
Belum optimal
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, tata kelola penempatan dan perlindungan di dalam negeri masih lemah dan kondisi itu diperkuat dengan lemahnya diplomasi perlindungan di luar negeri. ”Harus diakui batas antara penempatan TKI dan perdagangan manusia itu tipis sepanjang yang diorientasi adalah keuntungan ekonomi semata,” kata Wahyu.
Lebih lanjut ia mengatakan, isu perlindungan TKI masih kerap dianggap beban. Sikap itu membuat diplomasi perlindungan TKI akan terus kedodoran. ”Lihat saja, perwakilan RI selalu berkelit soal status Adelina sebagai TKi ilegal sebagai alibi terlambat mengurusinya,” kata Wahyu.
Menurut dia, perhatian yang luar biasa dari Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri belum dibarengi dengan perubahan kultur birokrasi, baik di Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Ketenagakerjaan.
Sabtu lalu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu M Iqbal mengatakan, Indonesia sudah menyampaikan draf perjanjian bilateral baru dengan Malaysia sejak berakhirnya MOU pada Mei 2016. Namun, pihak Malaysia hingga saat ini belum memberikan respons positif. Terkait dengan kasus penyiksaan Adelina, mengutip keterangan Kepala Kepolisian Prai Tengah, Pulau Penang, Iqbal mengatakan, berkas akan diserahkan kepada jaksa penuntut umum minggu depan. (NDY/JOS)