Penata pakaian tengah menyiapkan gaun pengantin, Senin (8/1), di sebuah toko di Damaskus. Konflik menyebabkan perempuan Suriah kesulitan menikah karena tidak memiliki pasangan.
Noura (30), perempuan Suriah berambut pirang yang sedang berupaya meraih gelar sarjana kedua dari Universitas Damaskus, memperlihatkan jari manisnya yang masih polos. ”Saya berharap suatu hari ada cincin yang melingkar di sini,” ujarnya.
Namun, menikah kini menjadi hal yang sangat sulit diwujudkan atau mission impossible di Suriah. Setelah perang berkecamuk sejak 2011, tak ada lagi pria muda di negara itu. Mereka kemungkinan keburu ditugaskan ke medan perang, mengungsi ke negara lain, atau tewas.
Lebih dari 340.000 orang meninggal dalam perang ini. Dari 23 juta penduduk Suriah, sekitar 5 juta orang meninggalkan negara itu.
Noura mengenang tahun-tahun sebelum perang, saat hampir setiap minggu ia menerima pinangan menikah. ”Kini, pinangan seperti itu hampir tak ada. Kalau ada, biasanya datang dari pihak yang tak layak, seperti sudah menikah atau sudah tua,” kata Nour, sarjana ekonomi yang kuliah lagi untuk mengisi waktu luangnya.
Di Suriah, umumnya perempuan menikah di usia 20-an tahun. Namun, norma itu kini berubah. ”Karena krisis, perempuan yang menikah di usia 32 tahun tak bisa dikatakan terlambat. Kini tak ada lagi jaringan sosial yang sebelumnya digunakan orangtua untuk mencari menantu bagi anak mereka,” ujar Salam Qassem, profesor psikologi di Damaskus.
Perang di Suriah telah menimbulkan kenyataan baru: inflasi meroket, pengangguran meluas, dan kerugian ekonomi mencapai 225 miliar dollar AS. Kenyataan ini membuat warga Suriah menempatkan upaya bertahan hidup sebagai prioritas. Pernikahan bahkan tak terpikirkan oleh sejumlah pria.
”Siapa pun yang menikah dalam situasi seperti ini, namanya gila. Untuk diri sendiri saja, saya tidak bisa menjamin akan hidup aman dan terhormat. Bagaimana mungkin saya menjamin hidup istri dan anak-anak saya kelak. Saya hanya bertahan hidup dari hari ke hari,” papar Firaz (37), pria di Damaskus.
