Harapan Perdamaian di Suriah Pupus
Setelah kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah mengalami kekalahan, muncul harapan kuat terwujudnya perdamaian di Suriah pada tahun ini. Namun, harapan itu ternyata kosong. Konflik bersenjata di negara itu sekarang justru semakin pelik karena telah beralih menjadi perang langsung antar-kekuatan utama.
Rusia secara tak langsung menuduh AS dan Israel berada di balik serangan di pangkalan Khmeimim. Alasannya, hanya dua negara itu yang memiliki teknologi canggih pesawat nirawak. Milisi oposisi Suriah dari berbagai faksi belum memiliki teknologi pesawat nirawak.
Hanya tiga hari setelahnya, yakni pada 3 Februari, pesawat tempur Rusia jenis Sukhoi-25 ditembak jatuh di Provinsi Idlib oleh rudal antipesawat yang dipanggul di punggung. Diduga kuat jenis senjata anti-serangan udara yang menembak jatuh pesawat tempur Rusia itu adalah Stinger yang diproduksi oleh AS. Karena itu, Rusia menuding AS berada di balik jatuhnya pesawat tempur Sukhoi-25.
Pakar militer Rusia, Viktor Litovkin, dikutip harian berbahasa Arab Al Hayat edisi 6 Februari, menuduh AS ingin menjerumuskan Rusia ke dalam kekalahan di Suriah seperti di Afghanistan dulu. Caranya, AS menyuplai sistem anti-serangan udara canggih ke kubu oposisi.
200 orang tewas
Pada 7 Februari lalu, pasukan koalisi yang dipimpin AS kembali menggempur milisi loyalis Presiden Assad di Provinsi Deir El Zour, Suriah timur. Akibatnya, sekitar 200 anggota milisi tewas. Belakangan diketahui sebagian besar anggota milisi yang tewas adalah tentara bayaran asal Rusia. Mereka dikontrak oleh rezim Assad.
Kerugian militer cukup besar di Suriah, hanya dalam kurun waktu satu minggu, sangat memalukan Rusia. Hal itu memaksa Moskwa mengubah sikapnya secara total di Suriah. Rusia secara de facto kemudian mengubur kesepakatan penurunan konflik atau de-escalation di Suriah yang dicapai antara Rusia, Turki, dan Iran di forum perundingan Astana pada 15 September 2017.
Rusia lalu melancarkan serangan balik besar-besaran. Pada 10 Februari lalu, pesawat tanpa awak yang lepas landas dari pangkalan udara militer T4 di Provinsi Homs, Suriah tengah, memasuki wilayah teritorial udara Israel melalui teritorial udara Jordania.
Helikopter tempur Apache milik Israel segera beraksi dengan menembak jatuh pesawat nirawak itu saat baru masuk sekitar satu tengah menit ke wilayah udara Israel. Tel Aviv menuduh pesawat nirawak ini adalah milik Iran.
Serangan balasan juga langsung dilancarkan oleh beberapa pesawat tempur Israel pada sasaran Iran dan Hezbollah di Provinsi Homs dan Palmyra. Serangan diarahkan pula ke pangkalan udara T4 yang menjadi tempat lepas landas pesawat nirawak Rusia menuju Israel.
Namun, sistem anti-serangan udara Suriah berhasil menembak jatuh pesawat tempur F-16 Israel yang ikut dalam serangan balasan. Israel meyakini bahwa Rusia berada di balik kemampuan Suriah menjatuhkan pesawat tempur F-16. Peristiwa jatuhnya pesawat tempur Israel terakhir kali terjadi pada tahun 1982.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Kedua pemimpin kemudian sepakat untuk menghentikan aksi saling serang.
Sejumlah diplomat Barat yang dikutip harian Al Hayat edisi 11 Februari mengatakan, ada dua faktor yang memperkuat peran Rusia di balik duel udara Suriah dan Israel. Pertama, semua sistem anti-serangan udara Suriah dikendalikan konsultan militer Rusia. Kedua, Rusia telah menempatkan S-400 di Suriah yang merupakan sistem anti-serangan udara dan rudal tercanggih saat ini.
Selain menjangkau seluruh wilayah udara Suriah, S-400 juga bisa menjangkau teritorial udara Israel utara, Jordania utara, Lebanon, dan Turki selatan. Menurut diplomat Barat itu, Suriah tak mungkin bisa menjatuhkan pesawat canggih sekelas F-16 tanpa bantuan sistem radar S-400 dan peran konsultan militer Rusia. Tidak mungkin pula pesawat nirawak dari Suriah menembus wilayah Israel tanpa bantuan sistem radar S-400.
Selain terlibat dalam duel udara di langit Suriah, Rusia dan rezim Assad sejak awal Februari hingga saat ini juga rutin menggempur Provinsi Idlib dan Ghouta timur. Hal ini merupakan balasan atas kerugian militer Rusia. Idlib dan Ghouta timur merupakan dua wilayah yang masih berada di bawah kendali kelompok oposisi bersenjata.
Serangan rezim Assad yang dibantu Rusia atas Ghouta timur sangat masif. Dampak serangan telah menimbulkan korban lebih dari 400 orang.
Dalam konteks proses politik, AS dan Rusia juga saling menjegal. AS memboikot forum konferensi Sochi tentang Suriah pada 29-30 Januari lalu yang digagas Rusia. Sikap AS terhadap konferensi Sochi merupakan balasan atas sikap keras delegasi Suriah yang didukung Rusia dalam perundingan Vienna. Forum yang digagas PBB dan Barat ini berlangsung satu minggu sebelum pertemuan Sochi digelar.
Turki serang Kurdi
Sementara itu, di Suriah utara juga ada gesekan langsung antara Turki dan AS. Hal ini terjadi menyusul keputusan Ankara untuk memperpanjang operasi militer Ranting Zaitun, yang dimulai sejak 20 Januari lalu, dari Afrin ke Manbij.
Tujuan operasi militer Turki adalah melumpuhkan kekuatan kelompok bersenjata Unit Perlindungan Rakyat (YPG) yang saat ini mengontrol Afrin dan Manbij. YPG terdiri atas milisi Kurdi.
Di kota Manbij terdapat pula pasukan AS yang tengah berkolaborasi dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Adapun tulang punggung SDF ialah milisi. Karena itu, serangan Turki ke Manbij akan berhadapan langsung dengan pasukan AS di kota itu.
Belakangan, YPG meminta bantuan rezim Assad agar mengirim pasukan ke Afrin untuk membendung serangan Turki. Keterlibatan rezim Assad di Afrin membuka peluang terjadinya kontak senjata langsung Turki-Suriah, atau bahkan Turki-Iran, jika Teheran kemudian mendukung Assad di Afrin.
Akibat pertarungan regional dan internasional itu, Suriah kini mundur jauh ke belakang. Harapan akan titik terang menuju tercapainya solusi politik di negara itu pada 2018 sirna. Semua forum perundingan, baik pertemuan Geneva maupun Astana, kini praktis lumpuh.