Tidak Ada Franz Ferdinand di Suriah
Setelah enam hari, hujan bom di kawasan Ghouta timur belum ada tanda-tanda akan berhenti. Hingga Jumat (23/2), sedikitnya 417 warga sipil tewas akibat pengeboman di kawasan yang dikuasai oleh oposisi Suriah itu.
Artileri dan pasukan udara pendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad tidak henti memuntahkan bom. Kondisi ini membuat Kuwait dan Swedia mengusulkan resolusi ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lewat resolusi itu, Kuwait dan Swedia menuntut gencatan senjata 30 hari di Ghouta timur. Tujuannya adalah memberi kesempatan pengiriman bantuan dan evakuasi warga sipil. Anggota DK PBB direncanakan melakukan pemungutan suara atas usulan resolusi itu pada akhir pekan ini.
Usulan resolusi tidak memasukkan gencatan senjata terhadap Al Qaeda serta sayap Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Suriah dan Rusia, yang menyediakan dukungan udara bagi Assad, menyatakan hanya menyasar pasukan oposisi dan para teroris di Ghouta timur.
Peneliti politik Timur Tengah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Nostalgiawan Wahyudhi, mengatakan, PBB terlambat memperhatikan persoalan kemanusiaan di Suriah. PBB juga tidak memiliki kebijakaan lebih nyata selain seruan gencatan senjata.
Kondisi itu antara lain dipicu oleh keuangan PBB yang sedang bermasalah karena sejumlah negara menunda pembayaran iuran. Akibatnya, PBB tak bisa segera mengirimkan pasukan penjaga perdamaian. Meski tak bisa serta-merta menghentikan konflik, kehadiran pasukan perdamaian paling tidak membuka peluang bagi masyarakat internasional untuk memiliki lebih banyak kesempatan mengirim bantuan dan mengupayakan evakuasi.
Pemegang veto
Konflik di Suriah melibatkan dua pemilik hak veto DK PBB, Rusia dan Amerika Serikat. Keduanya berada di kubu yang saling berseberangan.
Belakangan, AS memang perlahan menarik diri dari Suriah. Negara itu merasa tak memiliki cukup dana untuk menanggung perang tambahan atau terlibat lebih lama dalam konflik di luar negeri. Hal maksimal yang bisa dilakukan AS adalah mendorong Arab Saudi untuk tetap terlibat di Suriah.
Sejak perang saudara melanda Suriah pada delapan tahun lalu, AS bersama Saudi dan sejumlah negara Arab lain serta Turki berada dalam satu gerbong. Mereka menyokong kelompok oposisi dan berusaha menjungkalkan Assad.
Sampai sekarang, Assad yang disokong Suriah dan Iran tetap bertahan. Sebaliknya, kelompok-kelompok oposisi justru saling menyerang.
Turki sedang menggempur milisi Kurdi di Provinsi Afrin, Suriah. Selama ini Kurdi didukung AS. Sokongan terhadap Kurdi mengendur beberapa waktu terakhir.
Dalam kondisi terpojok, Kurdi mendekat ke Assad yang tanpa pikir panjang mengirim milisi ke Afrin. Sejumlah analis menyebut, Assad melihat peluang itu sebagai sarana untuk memperluas penempatan pasukan.
Assad berambisi merebut kembali kendali atas seluruh Suriah. Kini, kendali atas Suriah terpecah ke Assad, Kurdi, dan sejumlah kelompok lain. Assad dan Kurdi mengontrol wilayah paling luas.
Kesepakatan Assad dan Kurdi membuat kondisi semakin rumit. Dampaknya, antara lain, Turki menghadapi Iran secara tidak langsung. Milisi pendukung Assad, termasuk yang bergerak ke Afrin untuk bergabung dengan Kurdi melawan Turki, disokong Iran. Padahal, beberapa bulan terakhir, Turki rutin bertemu perwakilan Iran dan Rusia untuk membahas masa depan Suriah.
Selain itu, ada Israel yang sudah beberapa kali mengebom beberapa lokasi di Suriah untuk menghancurkan basis-basis Iran di Suriah. Tel Aviv khawatir Iran makin mudah masuk ke Israel jika posisinya kian kuat di Suriah.
Hanya Rusia
Menurut Nostalgiawan, kerumitan tersebut menjadi salah satu penyebab perang Suriah belum bisa diperkirakan kapan akan berakhir. Namun, sejauh ini konflik Suriah dinilai tidak akan sampai memicu Perang Dunia III.
Perang Suriah hanya menyisakan Rusia sebagai negara adidaya yang terlibat langsung. Turki yang sedang menginvasi Afrin hanya memiliki kekuatan militer kelas menengah.
Turki juga memilih tidak menghadapi Rusia. Bahkan, Turki mengutus petinggi militer ke Rusia sebelum memulai agresi di Afrin.
Sebaliknya, Turki justru mengancam AS, mitranya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Turki bolak-balik menyatakan akan menembak pasukan AS jika berada di antara milisi Kurdi. Perburuan terhadap milisi Kurdi selama lebih dari sebulan sudah menewaskan banyak warga etnis itu di Suriah.
Di antara korban tewas tersebut, tidak ada yang ”setara” dengan Franz Ferdinand, pewaris takhta Kekaisaran Austria-Hongaria. Pembunuhannya di Sarajevo pada tahun 1914 dijadikan alasan pemicu Perang Dunia I. (REUTERS/RAZ)