JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 27 organisasi yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran meminta pemerintah agar segera membuat peraturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Saat ini, pemerintah masih menggunakan peraturan turunan UU No 39/2014.
UU No 18/2017 tersebut telah diresmikan sejak 25 Oktober 2017. Tambahan materi dalam UU itu adalah pelindungan pekerja migran yang memiliki dokumen dan tidak, keluarga pekerja migran, awak kapal, dan pelaut perikanan (ABK), pemberian jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan, dan sebagainya. Adapun waktu transisi pembuatan peraturan turunan dari UU PPMI adalah dua tahun.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menyatakan, peraturan turunan harus memastikan agar perjanjian kerja berlaku di negara pengirim dan negara penerima pekerja migran.
Selain itu, perjanjian harus ditulis dalam dua bahasa dan disertakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui nota kesepahaman antarnegara.
”Berdasarkan kasus yang ditangani SBMI, perjanjian kerja di negara asal yang telah disetujui pekerja sering tidak berlaku di negara penempatan,” tutur Bobi, dalam konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
Perjanjian yang berlaku di negara tujuan dinyatakan lebih merugikan karena pekerja migran tidak sepenuhnya memahami bahasa negara tersebut. Data SBMI menunjukkan, terjadi pelanggaran kontrak sebanyak 1.501 kasus sepanjang tahun 2016-2017.
Sekretari Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani menambahkan, peraturan turunan juga harus mencakup deskripsi tugas layanan migrasi oleh pemerintah desa, kabupaten, pusat, hingga perwakilan di luar negeri.
”Layanan harus terintegrasi, bebas pungli, dan transparansi sehingga pekerja migran tidak terkena risiko trafficking,” ujarnya. (DD13)