Posisi Jordania, satu dari dua negara Arab yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel, berada di pusaran konflik Timur Tengah. Negara itu juga kelimpahan jutaan pengungsi sejak konflik Palestina-Israel meletus pada akhir 1940-an hingga konflik Suriah saat ini.
Untuk mengetahui situasi di negara tersebut, Kompas mewawancarai Duta Besar Indonesia untuk Jordania dan Palestina Andy Rachmianto, pertengahan Februari ini, di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana keadaan Jordania belakangan ini?
Di sekitar Jordania memang ada tetangga yang belum sepenuhnya stabil. Akan tetapi, Gallup (lembaga jajak pendapat asal Amerika Serikat) menempatkan Jordania di peringkat ke-9 pada daftar negara paling aman. Indonesia saja kalah dari Jordania.
Benarkah Jordania bekerja sama dengan Israel?
Jordania terletak di pusat Timur Tengah dengan tetangga yang punya berbagai persoalan. Negara itu perlu memastikan keamanannya. Karena itu, Jordania membuat perjanjian dengan banyak negara untuk memastikan keamanannya. Dengan Israel, AS, dan banyak negara lain ada perjanjian.
Bagaimana pengungsi?
Penduduk Jordania 9 juta orang, pengungsi 4 juta. Jordania salah satu negara dengan perbandingan penduduk dan pengungsi paling tinggi. Separuh warga Jordania adalah keturunan pengungsi Palestina. Sejak perang 1948, banyak (orang Palestina) yang mengungsi ke Jordania. Sebagian sudah menjadi warga negara, sebagian lagi tetap berstatus pengungsi. Ada 2,8 juta pengungsi Palestina di Jordania.
Wajar kadang ada sedikit gesekan antara penduduk dan pengungsi. Akan tetapi, secara umum penduduk Jordania sudah terbiasa dengan pengungsi. Bisa berbaur sejak lama.
Apa yang bisa dilakukan Indonesia di Jordania?
Jordania punya kesepakatan dagang dengan Uni Eropa, AS, dan negara-negara lain. Produk Jordania bisa mendapatkan tarif nol persen di Eropa dan AS. Banyak negara lain memanfaatkan fasilitas itu. Mereka membuat pabrik di Jordania, lalu dari sana diekspor ulang ke sejumlah negara. Malaysia dan beberapa negara sahabat Indonesia sudah memanfaatkan itu. Kami berharap Indonesia bisa menggunakan fasilitas itu juga.
Bukan sekadar investasi, sekaligus juga membantu para pengungsi. Untuk mencegah arus pengungsi masuk ke wilayah mereka, Uni Eropa membuat perjanjian dengan Jordania soal tarif nol persen. Produk yang dibuat di pabrik yang mempekerjakan pengungsi sekian persen bisa mendapat fasilitas itu.
Jadi, untuk mencari kerja, pengungsi tidak perlu ke Eropa atau AS. Mereka bisa di Jordania. Kalau memanfaatkannya, Indonesia bisa mencapai beberapa tujuan. Bisa memperluas pasar, berinvestasi di luar negeri, dan membantu pengungsi.
Apakah produknya harus dibuat utuh di sana? Bisakah produknya dibuat di Indonesia tanpa merek dan label, lalu dikirim ke Jordania untuk diberi label?
Beberapa negara sudah melakukan itu dan tidak masalah. Produk mereka bisa masuk Uni Eropa dan AS dengan tarif nol persen karena diolah dulu di Jordania. (KRIS RAZIANTO MADA)